Model Kurikulum Madrasah dan ranah PAI di Madrasah

  • 07:06 WITA
  • Administrator
  • Artikel

A. Model-model Pengembangan Kurikulum di Madrasah

Model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya. Model bukanlah realitas, akan tetapi merupakan representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan.[1] Oleh karena itu, model pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan sesuatu ke dalam realitas, yang sifatnya lebih praktis. Model berfungsi sebagai sarana untuk mepermudah komunikasi, atau sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.

Model yang baik adalah model yang dapat menolong si pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh.[2] Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa model yang dapat digunakan yaitu model pengembangan kurikulum Tyler, Hilda Taba, Oliva, Beauchamp, Wheeler, Nisholls dan dynamic Skilbeck.

1.      Model Pengembangan Kurikulum Tyler

Model pengembangan kurikulum Tyler sering juga disebut sebagai The Objective Model, dan kadang-kadang dinamakan sequential, rational, scientific, classical or mean model.[3] Model pengembangan kurikulun Tyler lebih bersifat bagaimana merancang suatu kurikulum, sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Dengan demikian, model ini tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk langkah-langkah konkrit atau tahapan-tahapan secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar pengembangannya saja.

Ada empat hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum. Pertama, berhubungan dengan tujuan pendiddikian yang ingin dicapai; kedua, berhubungan dengan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan; ketiga, pengorganisasian pengalaman belajar, dam keempat, berhubungan dengan evaluasi.[4]

a.       Menentukan Tujuan

Dalam penyusunan suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah petama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Hendak dibawa ke mana anak didik? Kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program pendidikan? Semuanya bermuara kepada tujuan.

Merumuskan tujuan kurikulum, sebenarya sangat tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum apa yang dianut. Bagi pengembang kurikulum subjek akademis, maka penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu merupakan sumber tujuan utama. Kurikulum yang demikian yang kemudian dinamakan sebagai kurikulum yang bersifat “discipline oriented”. Berbeda dengan pengembang kurikulum model humanistik yang lebih bersifat “child centered”, yaitu kurikulum yang lebih berpusat kepada pengembangan pribadi siswa, maka yang menjadi sumber utama dalam perumusan tujuan tentu saja siswa itu sendiri, baik yang berhubungan dengan pengembangan minat dan bakat serta kebutuhan untuk membekali hidupnya. Lain lagi dengan kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum yang lebih bersifat “society centered” ini memosisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, maka kebutuhan dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan merupakan sumber tujuan utama kurikulum.[5]

Walaupun secara teoritis, tampak begitu tajam petentangan antara kurikulum yang bersumber dari disiplin akademik, kurikulum yang bersumber dari kebutuhan pribadi dan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya tidak setajam apa yang ada dalam teori. Anak adalah organisme yang unik, yang memiliki berbgai perbedaan. Ia juga adalah makhluk sosial yang berasal dan akan kembali pada masyarakat, oleh karena itu tujuan kurikulum apa pun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus mempertimbangan berbagai sumber untuk kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

b. Menentukan Pengalama Belajar

Langkah kedua dalam proses pengembangan kurikulum adalah menentukan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam beriteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Pengalaman belajar menunjuk kepada aktvitas siswa di dalam proses pembelajaran.

Ada beberapa pinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran. Kedua, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Kempat, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.

Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalnya pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpkir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.[6]  

c. Mengorganisasi Pengalaman Belajar

Langkah yang ketiga dalam merancang suatu kurikulum adalah mengorganisasikan pengalaman belajar baik dalam bentuk unit mata pelajaran, maupun dalam bentuk program. Langkah pengorganisasian ini sangatlah penting, sebab dengan pengorganisasian yang jelas akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa.[7]

Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar. Pertama, pengorganisasian secara vertikal dan kedua secara horizontal. Pengorganisasian secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Misalkan, pengorganisasian pengalaman belajar yang menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan geografi kelas enam. Sedangkan pengorgnisasian secara horizontal jika kita menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang gaoegrafi dan sejarah dalam tingkat yang sama. Kedua hubungan ini sangat penting dalam proses pengorganisasikan pengalaman belajar. Misalkan, hubungan vertikal akan memungkinkan siswa memiliki pengalaman belajar yag semakin luas dalam kajian yang sama; sedangkan hubungan horizontal, antara pengalaman belajar yang satu dan yang lain akan saling mengisi dan memberikan penguatan.[8]

Ada tiga prinsip dalam pengorganisasian pengalaman belajar yaitu kontinuitas, urutan isi dan integrasi.[9]

d. Evaluasi

Proses evaluasi merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Eveluasi memegang peranan yang cukup penting, sebab dengan evaluasi dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah atau belum. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan evaluasi. Pertama, evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Kedua, evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu. Dengan demikian, penilaian suatu program tidak mungkin hanya dapat mengandalkan hasil tes siswa setelah akhir proses pembelajaran. Penilaian mestinya membandingkan antara penilaian awal sebelum siswa melakukan suatu program dengan setelah siswa melakukan program tersebut. Dari perbandingan itulah akan tampak ada atau tidak adnya perubahan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[10]

2. Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba  

 Berbeda dengan model yang dikembangkan Tyler, model Taba lebih menitikberatkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum  sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu, dalam model ini dikembangkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum.

Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif yang dimulai yang dimulai dari langkah penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desain kurikulum, menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas.

Hilda Taba tidak sependapat dengan langkah tersebut. Alasannya, pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Oleh karena itu, menurut Hilda Taba, sebaiknya kurikulum dikembangkan secara terbalik yaitu dengan pendekatan induktif.[11]         

Ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Hilda Taba sebagai berikut.

a.       Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah:

1)      Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini, pengembang kurikulum memulai dengan menetukan kebutuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan (defeciencies), dan perbedaan latar belakang siswa.

2)      Memformulasikan tujuan. Setelah kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan.

3)      Memilih isi. pemilihan isi kurikulum sesuai dengan tujuan merupakan langkah berikutnya. Pemilihan isi bukan saja didasarkan kepada tujuan yang harus dicapai sesuai dengan langkah kedua, akan tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermanknaannya untuk siswa.

4)      Mengorganisasi isi. melalui penyeleksian isi, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.

5)      Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa mencapai tujuan kurikulum.

6)      Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan. Sebaliknya dalam menentukan paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta agar mereka memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.

7)      Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa. Pada penentuan alat evaluasi ini guru dapat menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, apakah siswa itu sudah dapat mencapai tujuan atau belum.

8)      Menguji keseimbangan isi kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar, dan tipe-tioe belajar siswa.

b.      Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunanya.

c.       Merevisi dan mengonsolidasi  unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.

d.      Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.

e.       Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, lokakarya dan lain sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat-alat sesuai dengan ketentuan kurukulum.[12]

3. Model Pengembangan Kurikulum Oliva

Menurut Oliva suatu model kurikulum harus bersifat simpel, komprehensif dan sitematik. Model pengembangan kurikulum Oliva terdiri dari 12 komponen yang harus dikembangkan.

Komponen pertama adalah perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan yang semuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan masyarakat.

Komponen kedua adalah analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah. Sumber kurikulum dapat dilihat dari komponen I dan II ini. Komponen I berisi pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan sangat ideal; sedangkan komponen II sudah mengarah kepada tujuan yang lebih khusus.

Komponen ketiga dan keempat, berisi tentang tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercantum dalam komponen I dan II. Sedangkan, dalam komponen V adalah bagaimana mengorganisasikan rancangan dan mengimplementasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum.

Komponen VI dan VII mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran, (bagaimana menjabarkan atau perbedaan antara tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).

Apabila tujuan pembelajaran telah dirumuskan, maka selanjutnya menetapkan strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada komponen VIII. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang kemungkinan strategi atau tenik penilaian yang akan digunakan (komponen IX A). Selanjutnya pengembangan kurikulum diteruskan pada komponen X yaitu mengimplementasikan strategi pembelajaran.

Setelah strategi diimplementasikan, pengembangan kurikulum kembali pada komponen IX yaitu komponen XI B untuk menyempurnakan alat atau teknik penilaian seperti yang telah ditetapkan pada komponen IX A bisa ditambah atau direvisi setelah mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi kurikulum.

Dari penetapan alat dan teknik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen XI dan XII dilakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.

Menuerut Oliva, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi. Pertama, untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus, misalkan penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Kedua, model ini juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum. Ketiga, model ini dapat digunakan dalam mengembangkan program pembelajaran secara khusus.[13]  

4. Model Beauchamp

Model ini dinamakan sistem Beauchamp, kerena memang diciptakan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum.

a.       Menetapkan wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu bisa terjadi pada hanya satu sekolah, satu kecamatan, kabupaten, atau mungkin tingkat provinsi dan tingkat nasional.

b.      Menetapkan orang-orang yang akan terlibat dalam proses pengembangan kurikulum. Beauchamp, menyarankan untuk melibatkan seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Orang-orang yang harus dilibatkan itu terdiri dari para ahli/spesialis kurikulum, para ahli pendidikan termasuk di dalamnya para ahli yang dianggap berpengalaman, para profesional lain dalam bidang pendidikan (seperti pustakawan, laporan, konsultan pendidikan dan lain sebagainya), dan para ahli profesional dalam bidang lain beserta para tokoh masyarakat (para politikus, industriawan, pengusaha, dan lain sebagainya).

c.       Menetapkan prosedur yang akan ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi. Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi dalam lima langkah:

1)      Membentuk tim pengembang kurikulum.

2)      Melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan.

3)      Melakukan studi atau penjajakan tentang penentuan kurikulum baru.

4)      Merumuskan kriteria dan alternatif pengembang kurikulum.

5)      Menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki.

d.      Implementasi kurikulum. Pada tahap ini perlu dipersiapkan secara matang berbagai hal yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas penggunaan kurikulum, seperti pengalaman guru tentang kurikulum itu, sarana atau fasilitas yang tersedia, manajemen sekolah, dan lain sebagainya.

e.       Melaksanakan evaluasi kurikulum yang menyangkut:

1)      Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di sekolah.

2)      Evaluasi terhadap desain kurikulum.

3)      Evaluasi keberhasilan anak didik.

4)      Evaluasi sistem kurikulum.[14]

5. Model Wheeler

Wheeler berpendapat pengembangan kurikulum terdiri dari lima tahap, sebagai berikut.

a.       Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang besifat normatif yang mengandung tujuan filosofis, atau tujuan pembelajaran umum yang besifat praktis. Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang besifat spesifik dan objektif yakni tujuan yang mudah diukur ketercapaiannya.

b.