Pendidikan Islam dalam pesrspektif Harun Nasution

  • 10:22 WITA
  • Administrator
  • Artikel

A.  Konsep Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pandangan Prof. Dr. Harun Nasution

            Harun Nasution dalam buku “Pembaharuan dalam Islam” telah banyak mengemukakan ide-ide pembaharuan antara lain dengan cara menghilangkan bid?ah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.[1]

            Kepulangan Harun dari Kanada menjadi titik tolak dirinya melangkah ke pemikiran Pembaharuan Islam. Harun mengusik kaum Muslim Indonesia yang sekian lama dilanda kejumudan berpikir. Dalam kapasitasnya sebagai intelektual muslim, Harun secara terang-terangan mewacanakan pembaharuan Islam. Dalam bukunya “Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, muncul ide-ide pembaharuan dengan maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat Islam agar sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis.[2]

            Dari arah pemikirannya, dua agenda saja yang ingin Harun wujudkan,pertama; bagaimana membawa umat Islam ke arah rasionalitas, kedua; bagaimana menumbuhkan pengakuan Qadariah (akal/ pikiran) manusia. Dua hal tersebut didasarkan pada fakta umat Islam Indonesia yang cenderung ortodok, terkungkung oleh doktrin-doktrin agama yang tidak proporsional dan terkesan ambigu. Imbasnya, kaum Muslim Indonesia apatis dan hidup penuh pesimistis. Fenomena seperti ini masih terlihat hingga sekarang. Padahal Harun sudah mewanti-wanti sejak 40 tahun lalu.Sebagaimana dikhawatirkannya, jika kejumudan dibiarkan, sikap selalu menerima dan pasrah, pesimistis, fatalistikterus dipelihara, justru akan berbahaya bagi umat Islam sendiri. Mereka akan semakin terisolasi dari kancah pembangunan. Harun membahasakan, “Seperti tikus mati di lumbung padi.” Karena itu, agar Islam tidak mati konyol, ide positif Harun Nasution ini bisa menjadi referensi dan mewarnai ikhtiar umat Islam Indonesia ke depan.

            Dari dua agenda yang ingin Harun wujudkan kepada Islam, khususnya Islam Indonesia, setidaknya bermuara kepada tiga gagasan besarnya yaitu; peranan akal diberikan ruang yang lebih luas, pembaharuan teologi umat, dan memperbaiki hubungan akal dan wahyu.

            Menurutnya, tiga hal di atas adalah hulu dari permasalahan selama ini, secara tidak tersadari, menjadi sebab kepada mundur dan lemahnya umat Islam. Islam diminta untuk kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, sebagaimana diamalkan umat Islam di zaman klasik. Segala bid’ah yang tidak sesuai dengan Islam dan membawa pada kemunduran dan kelemahan umat harus dibuang. Sikap taklid kepada pendapat dan penafsir lama juga harus ditinggalkan dan pintu ijtihad kembali dibuka. Yang dijadikan pegangan dan pedoman untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam bukan lagi buku-buku karangan ulama terdahulu, tetapi hanya al-Quran dan al-Hadis. Ajaran-ajaran dasar yang ada di dalamnya disesuaikan perincian dan cara pelaksanaannya dengan perkembangan zaman.[3]Adapun uraian dari tiga gagasan besar Harun Nasutiom , yaitu sebagai berikut:

1.         Peranan Akal

            Berangkat dari kekagumannya kepada tokoh pembaharu Islam Muhammad Abduh, yang dikupasnya dalam kajian desertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada, dengan tema “Problematika Akal dalam Sistem Teologi Muhammad Abduh” membawanya hanyut dan terbawa metode dan misi dari tokoh idolanya itu. Selalu dikatakan bahwa besar-kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Dijelaskan, akal melambangkan kekuatan manusia, karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk melakukan kekuatan mahluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan lain.[4]Dalam ajaran Islam, akal mempuanyai kedudukan yang tinggidan banyak digunakan, tidak hanya dalam perkembangan ilmupengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam perkembanganajaran-ajaran keagamaan Islam.

2.    Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi gagasan Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Apa yang diutarakannya ini serupa dengan pandangan kaum modernis pendahulunya seperti; Muhammad Abduh, Rashid Rid}, Jamaluddin al-Afghani>, Sayyid Ahmad Khan, dan lainnya, yang memandang perlu untuk kembali pada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dalam teologi fatalistis, irasional, predeterminisme, serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.

Karena itu, bila serius ingin memperbaiki nasib umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam segera merubah teologinya menuju teologi yang free wiil-free act (kehendak bebas-bertindak bebas), rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini menemukan teologinya dalam khazanah Islam klasik, yaitu teologi Mu’tazilah.[5] Kesimpulannya, Harun Nasution mengarahkan atau mengajak umat Islam Indonesia untuk menganut teologi  Mu’tazilah. Baginya, hanya aliran ini dengan sifat Qadariahnya, yang mampu menjadikan Islam untuk kembali memegang peradaban di muka bumi. Sebagaimana Allah menurunkan manusia untuk beriman (Islam) dan menjadi khalifah guna mengelola bumi dan isinya agar bermanfaat bagi kehidupan. Ini merupakan isyarat dan perintah Allah agar akal yang sudah diciptakannya pada setiap jiwa manusia itu benar-benar difungsikan dan diberdayakan.

3.      Hubungan Akal dan Wahyu

Fokus pemikiran Harun Nasution lainnya adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal danwahyu menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segalagalanya.Wahyu tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[6]

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, lebih-lebih di bidang ilmu fikih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak dan benar. Akal digunakan hanya untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Pertentangan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama yang lain.

Dalam konteks ini, Harun ingin menyampaikan bahwa umat Islam jangan terjebak pada pendapat pribadi atau akal dari ulama tertentu. Hindarilah taklid buta. Carilah ulama-ulama dan pemikir pemikir Islam yang rasional dan modern, bukan ulama dan pemikir Islam yang irasional dan tradisional. Harun berharap para ulama dan pemikir Islam saat ini untuk lebih memfungsikan dan memberdayakan akalnya, terus berijtihad, pintu ijtihad terus terbuka, karena ditutupnya pintu ijtihad bersamaan dengan berakhirnya kehidupanya ini, yaitu pada hari kiamat.

Dari gagasan-gagasannya ini, Harun membuat benang merah agar dinamika di kalangan umat Islam dihidupkan kembali dengan menjauhkan faham tawakkal semata dan faham jabariyah. Umat Islam harus dibawa kembali ke teologi yang mengandung faham dinamika dan kepercayaan kepada akal dalam batas-batas yang ditentukan wahyu. Umat Islam harusdirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha. Orientasi keakhiratan harus diimbangi dengan orientasi keduniaan, sehingga umat Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai halnya dengan umat-umat lain.[7]

B.  Ragam Modernisasi Pendidikan Islam sebagai Legasi dari Prof. Dr. Harun Nasution

Bila membaca tiga gagasan atau pemikiran pokok Harun Nasution diatas, sudah bisa dipahami esensinya. Tiga gagasan pembaharuan IslamHarun Nasution tersebut sebagai pola dasar atau fondasi yang bisaditerapkan di berbagai sektor kehidupan umat Islam kekinian, mulai darikehidupan sosial Islam, ekonomi Islam, pendidikan Islam itu sendiri,bahkan politik Islam, dan lainnya. Kemerdekaan akal, penganutan teologiyang tepat, menempatkan posisi akal sesuai kebutuhannya di antara wahyu,adalah dasar dari pola-pola kehidupan tersebut.

Misalkan dalam kehidupan politik, Harun menyarankan agarpemerintahan absolut dirubah dan ditukar kembali dengan pemerintahandemokrasi. Ke dalam dunia Islam harus dimasukkan sistem pemerintahankonstitusional. Dengan demikian, umat akan turut memikirkan problema-problemayang dihadapi negaranya dan ikut mencari solusi atau carapenyelesaiaannya. Turut berusaha dan turut bertanggung jawab atas usaha – usahauntuk mencapai kemajuan dan kemandirian.[8]

Lantas bagaimana penerapannya dalam pendidikan Islam. Harun dengan gamblang mengutarakan untuk merubah pola pendidikan Islam tradisional ke arah yang pendidikan Islam yang modern. Hal ini dibuktikan dengan mewujudkan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam diantaranya, yaitu:

 

1.      Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia

Langkah pertama Harun Nasution saat menjabat sebagai Rektor IAIN SyarifHidayatullah Jakarta adalah mengubah kurikulum. Kurikulum IAIN selama initidak mencerminkan pengembangan pemikiran mahasiswa, karena tidak ada matakuliah yang dapat mendorong ke arah itu. Pada saat itu ia  memperkenalkan beberapa matakuliah yang selama ini tidak atau kurang dikenal di lingkungan IAIN, seperti filsafat Islam, teologi Islam, tasawuf dan aliran-aliran modern dalam Islam. Dari segi metodologis, berbagai ilmu yang dipelajari di IAIN juga mulai didekati secara lebih objektif, dan nonpartisan. Mahasiswa dituntut mencoba memahami perbedaan pandangan di antara berbagai mazhab dan aliran sesuai dengan sudut pandang mazhab atau aliran masing-masing.

Menurutnya, kurikulum adalah sederetan rencana matakuliah dan pengaturannya yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Halini sesuai dengan konsep kurikulum pendidikan tinggi yang lebih menekan kepadaseperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan mata pelajaran serta cara yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

Dalam materi kurikulum pendidikan tinggi Islam yang digagas Harun, Ia menilai bahwa sistem pembidangan ilmu dalam kurikulum pendidikan tinggi Islam, khususnya IAIN masih memakai spesialisasi ilmu agama Islam seperti sistem kurikulum yang berlaku di Al-Azhar. Kurikulum ini tidak sesuai dengankebutuhan masyarakat, sehingga alumni pendidikan tinggi Islam sulit diterima (untuk mendapatkan pekerjaan) di masyarakat. Selama, ini Fakultas Adab, Dakwah dan Usuluddin sulit untuk mendapatkan lapangan kerja, hanya fakultas Syari'ah dan Tarbiyah yang agak mudah mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, pembidangan ilmu dalam pendidikan tinggi Islam harus menyeimbangkan spesialisasi antara ilmu agama dan ilmu umum.

Pemikiran Harun yang menarik adalah Islam Rasional yang ditujukan atas semua, yang dimaksud dengan wahyu adalah tanda keadilan Tuhan, kebaikan dan kewajiban Tuhan, kebaikan dan kewajiban Tuhan terhadap manusia, maka dari sudut manusia, iman adalah tanggapan manusia mengenai wahyu Tuhan, oleh karena itu, wahyu dan iman merupakan dua entitas yang saling menanggapi, wahyu Tuhan baru benar- benar mempunyai arti jika ditanggapi Iman manusia. Untuk memenuhi harapan dan kebutuhan umat Islam di atas, kurikulum pendidikan tinggi Islam harus dapat membawa pengertian Islam secara luas.Islam bukan sekedar hukum fiqh, tetapi Islam mengandung beberapa aspek.[9]

Sebagaimana diutarakan juniornya,  Azyumardi Azra, Pembaharuan kurikulum yang diperkenalkan Harun Nasution ini, telah membuka cara pandang dan arah baru kajian Islam di lingkungan IAIN. Pendekatan dan metodologi yang ditawarkan Harun Nasution, yangkemudian dikenal sebagai pendekatan “non-mazhabi”, selanjutnya menjadi ciri sebagian besar alumni IAIN Jakarta, khususnya para lulusan sejak paruh kedua 1970-an. Hasilnya adalah, kemunculan sejumlah alumni, sejak dalam 1980-an, yang bergerak di luar sektor pemerintahan, dan mempunyai pengaruh yang signifikan dalam penyebaran dan pengembangan gagasan pembaharuan Islam.[10]Pada saat yang sama, banyak alumni IAIN Jakartabergerak dalam birokrasi turut menjadi motor dalam pembaharuan kelembagaan Islam.

2.      Perubahan Tradisi Akademik Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia

Harun sangat tepat jika disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Islam Indonesia, ia melakukan perubahan sistem pendidikan IAIN di Indonesia. Ada tiga perubahan dan pembaharuan sistem yang diupayakannya, yaitu :

a.    Merubah sistem kuliah yang selama ini dinilai feodal, menjadi sesuatu yang lebih baik, dengan metode diskusi atau seminar

b.    Merubah budaya lisan menjadi budaya tulisan. Harun dengan tekun melatih mahasiswa-mahasiswanya untuk menulis pemikiran secara runtut dan sistematis. Budaya ini diperkenalkan untuk mengatasi kelemahan dalam budaya lisan. Karena tidak semua orang bisa memaparkan ide-ide yang ada dalam pikiran secara runtun dan jelas.

c.    Harun memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal. Dominasi pendekatan fiqh selama ini dalam sistem pengkajian Islam membuat kajian Islam agak mandek.[11]

            Maka apa yang dipandang perlu oleh Harun Nasution untuk dikembangkan dalam studi Islam di Indonesia, berbeda dari apa yang dipandang perlu oleh pembaharuan-pembaharuan sebelumnya, yaitu pada umumnya mereka yang telah terlibat dari zaman Indonesia sebelum merdeka dalam pergerakan. Harun percaya pada kemampuan manusia untuk melakukan sesuatu yang baik. Ia memang menekankan tanggung jawab pada manusia, yang hanya bisa dituntut apabila memang berdasarkan kemauan dan kemampuan diri, bukan karena terpengaruh oleh orang lain.

Penafsiran dan pemikiran itu tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu, imam besar tidak salah jika menyalahkan sesamanya. Semua dipandang masih dalam kebenaran selama ia tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagai tersebut dalam al-Qur?an dan Hadits.[12]

Islam modernis adalah kelompok umat Islam yang menghendaki agar ajaran Islam mampu memberikan kontribusi yang riil dan faktual dalam memecahkan berbagai problem sosial sepanjang zaman dan di manapun problem tersebut harus dipecahkan. Hal tersebut penting dilakukan, karena sesuai dengan misi Islam, yaitu untuk memberi rahmat bagi seluruh alam dan sepanjang zaman serta dimanapun. Untuk itu ajaran Islam yang digali dari al-Qur?an dan Hadits harus ditinjau ulang setiap zaman untuk dilihat secara kritis apakah pemikiran itu masih cocok atau sudah tertinggal.

Sejalan dengan itu maka Islam modernis menghendaki agar pintu ijtihad tetap terbuka, dan umat Islam yang memiliki kemampuan dan kepribadian yang baik agar tidak ragu-ragu untuk berijtihad bagi kepentingan umat Islam. Dengan cara demikianlah ajaran Islam tetap relevan sepanjang zaman.

                Ketekunannya menyebarkan gagasan-gagasannya melalui pengajaran dan ceramah-ceramahnya di IAIN bukan saja memberikan dasar-dasar tradisi ilmiah di dalam studi Islam, tetapi sekaligus menetralisir warna atau pola pikir kecendrungan-kecendrungan pemikir Islam yang bersifat apologetik, pudarnya dikotomi modernisme tradisionalisme di dalam pemikiran Islam, terutama dikalangan IAIN Jakarta adalah salah satu sumbangan konkrit dari kehadiran sosok diri dan pikiran-pikiran Harun Nasution.[13]

Untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam di IAIN, Harun mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu?tazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan Pascasarjana IAIN. Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990 an, sebagai direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, “ia mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan Pascasarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan ke-Islaman yang baru.[14]

Selama kepemimpinan Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah banyak gagasan pembaruan yang dipraktikkan.[15] Adapun diantaranya ialah sebagai berikut:

1)      Menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini dilakukan dengan cara mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hapalan, texbook thinking, dan cenderung menganut mazhab-mazhab tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa berfikir secara rasional, kritis, inovatif, objektif, dan menghargai perbedaan pendapat.

2)      Pembinaan tenaga dosen. Upaya ini dilakukan dengan cara membentuk Forum Pengkajian Islam (FPI) dan diskusi yang dibagi kedalam diskusi mingguan dan bulanan. Pada setiap kali diskusi tersebut para dosen diwajibkan membuat makalah ilmiah dengan bobot dan standar yang ditentukan, dan kemudian menyajikannya dalam forum ilmiah.

3)      Menerbitkan Jurnal Ilmiah. Melalui jurnal ini berbagai makalah yang disusun para dosen dan disajikan dalam forum kajian tersebut di atas, dilanjutkan dengan diterbitkannya pada Jurnal Ilmiah.

4)      Pengembangan perpustakaan. Upaya ini dilakukan antara lain dengan membangun gedung perpustakaan yang memadai, jumlah buku yang memadai, serta sistem pelayanan yang lebih baik.

5)      Pengembangan organisasi.

6)      Menjadikan IAIN sebagai Pusat Pembaruan Pemikiran dalam Islam.

Dampak dari usaha yang dilakukan Harun Nasution, terlihat berupa suasana kreatifitas intelektual yang diciptakan terutama di IAIN Jakarta. Pandangannya tentang perlunya berpikir rasional dalam memahami agama, membekas pada mahasiswa yang belajar di IAIN Jakarta, pada tatanan tertentu ide-ide pembaharuan tersebut mempertanyakan kembali tentang konsep dan argumen dibalik paham dan praktek keagamaan yang selama ini taken for granted. Disamping itu, keinginan Harun untuk mengajarkan agar umat Islam terbiasa dengan perbedaan pendapat, sering berhadapan dengan paham keIslaman di daerah yang belum siap dengan paham keagamaan.[16]

Figur Harun Nasution dianggap sebagai seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Karakter pembaharuan yang Harun lakukan tidak seperti yang dikerjakan tokoh modernis pada umumnya, yaitu melalui organisasi sosial maupun politik. Dia justru melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan membuka program pascasarjana, yang pada umumnya menjadi „kiblat? semua IAIN di Indonesia. Tetapi harus digarisbawahi bahwa tidak semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik. Memang konsekuensi dari setiap modernitas, ada yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun diakui atau tidak, ide Harun telah terasa dan mewarnai pada setiap IAIN, walaupun nuansanya berbeda.

Ide pembaharuan Harun harus diletakkan secara proporsional, karena mungkin saja suatu ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sekarang sudah dianggap biasa, karena dampak perkembangan dunia yang makin cepat. Pendapat Harun bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan sejarah. Karena itulah ada yang meng-claim Harun Nasution seorang Westernis yang pro-Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis. Sebenarnya Harun adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi Islam dan kaum muslimin, sehingga sah dan wajar apabila bisa mengambil pendapat darimana saja, termasuk dari barat apabila dipandang boleh dan tidak melanggar aturan Islam.

Perspektif Harun Nasution terhadap Mu?tazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal (rasio) berekses dia menyandang berbagai predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Mu?tazilah atau Neo-Mu?tazilah. Sebenarnya orientasi pemikiran Harun Nasution, didasari oleh penelitian yang dia lakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, yaitu seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam berbagai naskahnya. Sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide tersebut, Harun mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Mu?tazilah. Tetapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa dia seorang Ahl al-Sunnah yang rasional.

Dengan demikian, ide pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah, tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.

3.      Menggagas Berdirinya Program Pascasarjana IAIN

Program pascasarjana IAIN yang hendak digagas merupakan pendidikan tinggi agama tingkat lanjutan diatas program tingkat sarjana (S1) yang menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik. Gagasan ini lahir berdasarkan pertimbangan akan pentingnya lembaga yang menyelenggarakan pengkajian islam secara komprehensif, mendalam dan rasional sehingga dapat melahirkan ulama yang mampu berijtihad untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada zamannya. Ide ini kemudian mendapat respon positif dari para pendiri dan civitas akademika IAIN Jakarta. Dukungan yang besar juga datang dari Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh Mukti Ali.[17]Dengan berbagai dukungan tersebut, akhirnya ide dan pemikiran Harun Nasution tersebut terealisasi dengan didirikannya program pascasarjana IAIN Jakarta (1982), Program ini merupakan yang pertama dalam  sejarah IAIN Indonesia, yang kemudian menginspirasi berdirinya program  pascasarjana lainnya di Indonesia seperti; PPS IAIN Yogyakarta (1983), IAIN Banda Aceh (1989), IAIN Ujung Pandang (1990), dan pada tahun 1994 berdiri pula PPS IAIN Surabaya, Padang, dan Medan,[18]serta kemudian disusul oleh IAIN lainnya secara bertahap.

Program yang digagas Harun ini mempunyai tujuan umum untuk menghasilkan tenaga ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan IAIN. Sedangkan tujuan khususnya adalah: pertama, mengembangkan kemampuan dan keahlian peserta untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkannya dalam masyarakat, kedua, memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidang-bidang ilmu agama Islam dan penelitian sesuai dengan bidang program yang bersangkutan. Ketiga, memiliki sikap ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam yang bertanggung jawab.[19]

Dalam perkembangannya, pada awal didirikan program pascasarjana IAIN Jakarta diselenggarakan satu program studi tingkat magister yaitu program studi “Pengkajian Islam”. Pada tahun 1996/1997 dibuka konsentrasi syariah, dan pada tahun 1997/1998 dibuka empat konsentrasi lain, yaitu Pemikiran Islam, Tafsir dan Hadis, Sejarah dan Peradaban Islam, dan Islam dan Modernitas. Dan selanjutnya, pada tahun 1988/1999 dibuka tiga konsentrasi lagi, yaitu Pendidikan Islam, Bahasa dan Sastra Arab, dan Dakwah dan Komunikasi.[20]Program Pasca tingkat Doktor dibuka pada tahun 1984 dengan program studi Pengkajian Islam. Mulai tahun akademik 1998/1999 dibuka konsentrasi Syari’ah dan pada tahun-tahun berikutnya dibuka pula konsentrasi Tafsir Hadis, Pemikiran Islam, dan sebagainya sebagai kelanjutan dari program studi yang dibuka pada tingkat Magister yang telah menghasilkan lulusannya.

Demikianlah, sejak berdirinya pada tahun 1982, program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dipimpin oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Ini berlangsung sampai wafatnya pada tahun 1998. Setelah masa kepemimpinannya, Direktur program pascasarjana dijabat oleh Prof. Dr. H. Said Agil Husin al Munawar, MA.

Dalam perjalanan panjang yang telah dilaluinya, sekolah pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah telah melahirkan ribuan dan ratusan Magister dan Doctor. Dari beberapa lulusan dari IAIN Syarif Hidayatullah tersebut, telah banyak yang ambil bagian dalam mengisi jabatan struktural di kampus-kampus, diantaranya seperti Prof. Dr. H. Jamaluddin Darwis, MA (Alumni doktor 2004), saat ini menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang. Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, M.Ag, (2003) Rektor IAIN Sultan Amai, Gorontalo. Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH (1989), Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh tahun 2001-2005, dan masih banyak lagi nama lainnya yang juga turut memberikan perannya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.[21]

4.      Penggagas Transformasi IAIN ke UIN

Harun merupakan salah satu penggagas ide transformasi IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang menjadi salah satu universitas riset di dunia. Pada tahun 1973-1984, Harun membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal sebuah Universitas Islam. Tokoh yang pada saat itu dikirim ke Timur Tengah adalah Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu. Sementara Zakiah Daradjat dikirim ke Malaysia.

Alasan Harun ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN adalah beliau merasa yang diperlukan umat kedepannya bukan hanya sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni.  Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu ditransformasikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana yang memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan pengetahuan umum.[22]Namun, gagasan tersebut kandas lantaran terkendala aturan dan sumber daya manusia yang belum memadai pada saat itu.

Pada masa kepemimpinan Azyumardi Azra, barulah transisi menuju UIN menemukan titik terang, dengan menggunakan tema “IAIN with wider mandate”atau IAIN dengan mandat yang diperluas. Konsep tersebut merupakan implementasi dari pilihan beberapa tawaran model transformasi IAIN menjadi UIN. Sebagai langkah awal untuk mengintegrasikan ilmu umum dan agama menuju terbentuknya UIN Jakarta. Maka, pada tahun akademik 1998/1999, IAIN Jakarta membuka jurusan psikologi dan pendidikan matematika pada fakultas tarbiyah, serta jurusan ekonomi dan perbankan Islam pada fakultas syari’ah. Pada tahun akademik berikutnya, 2000/2001, untuk lebih memantapkan langkah konversi ini,dibuka program studi agribisnis dan teknik informastika bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).[23]

Menjelang akhir 2001, langkah perubahan dari institut menjadi universitas semakin dekat. Hal itu dimulai dari langkah mendapat rekomendasi dengan ditandatanganinya surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama dan selanjutnya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional memberikan rekomendasi dibukanya 12 program studi yang meliputi, Teknik Informatika, Sistem Informasi, Akuntansi, Manajemen, Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Psikologi, Bahasa  dan Sastra Inggris, Ilmu Perpustakaan, Matematika, Kimia, Fisika dan Biologi.

Seiring dengan itu, Rancangan keputusan Presiden tentang perubahan bentuk IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah telah mendapat rekomendasi dari Kementerian terkait sehingga melalui keputusan Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei Tahun 2002, Maka IAIN Syarif Hidayatullah telah resmi berganti nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah.