Menurut
Ibnu Taimiyah , secara umum pembaharuan Islam timbul karena membudayanya khurafat
dikalangan kaum muslimin, ditutupnya pintu ijtihad yang dianggap membodokan
umat Islam, terpecahnya persatuan umat Islam sehingga sulit membangun dan
mengatur, kontak antara Barat dan Islam telah menyadarkan kaum muslimin dari
kemunduran.[1]
Dengan meperhatikan sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam dan dengan
memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan bangsa Barat, maka pada garis
besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Pertama:
Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola
pedidikan modern dibarat, Kedua: berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian
kembali ajaran Islam, Ketiga: berorientasi pada kekayaan dan
sumber daya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme.[2]
1.
Golongan yang berorientasi pada pola
pendidikan modern di Barat
Pada
dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup
manusia dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat
bahwa apa yang dicapai bangsa-bangsa Barat dewasa ini merupakan pengembangan
dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang di dunia Islam.
Penguasaan
ilmu pengetahuan dapat dicapai melalui proses pendidikan. Untuk itu, perlu mengikuti pola pendidikan
yang dikembangkan didunia Barat, sebagaimana dunia Barat pernah meniru dan
mengembangkan sistem pendidikan dunia Islam. Usaha pembaharuan pendidikan Islam
adalah mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun
sistem pendidikannya. Disamping itu, pengiriman-pengiriman pelajar-pelajar
kedunia Barat (terutama Prancis) untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern, banyak dilakukan pemerintah
diberbagai negara Islam.[3]
Pembaharuan
pendidikan Islam dengan pola Barat ini, mulanya timbul di Turki Usmani pada
akhir abad 11 H/17 M. Usaha ini merupakan benih timbulnya sekularisasi di
Turki, Sultan Mahmud II (1807-1839 M) adalah pelopor pembaharuan di Turki.
Menurut Harun Nasution perubahan penting yang dilakukan Sultan Mahmud II ialah
perubahan di bidang pendidikan. Dimasa itu, madrasah adalah satu-satunya
lembaga pendidikan. Di madrasah hanya diajarkan agama, pengetahuan umum tidak
diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrasah tradisional ini
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke 19 .
Sultan
Mahmuud II mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran, dan
sekolah pembedahan (operasi). Lulusan madrasah banyak meneruskan pelajaran di
sekolah-sekolah yang baru didirikan ini. Di tahun 1838 M, sekolah kedokteran
dan sekolah pembedahan digabungkan menjadi satu menjadi Dar-ul Ulum
u-Hikemiye ve mekteb-i Tibiyye-i Sahane.
Bahasa pengantar di sekolah ini menggunakan bahasa pengantar Prancis
dan Turki. Selain pembaharuan pendidikan Islam diatas, Sultan Mahmud II juga
mengirimkan pelajar ke luar negeri untuk mempelajari sains dan teknologi. Dari
merekalah awal mulanya paham sekularisme di Turki.
Pola
pembaharuan yang berorientasi ke barat, juga tampak dilakukan oleh Muhammad Ali
Pasha di Mesir. Tetapi,ia menyatakan diri sebagai pengusaha yang otonom, lepas
dari mengusir tentara Prancis dari Mesir. Ia buta huruf, tetapi mengetahui
betapa penting nya pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan dan kemajuan
suatu Negara . Ia terpengaruh oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dibawa oleh Napoleon Bonaparte.
Dalam
usaha mengalihkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Barat ke
Mesir ke Mesir Muhammad Ali menggalakkan penterjemahan buku-buku Barat kedalam
bahasa Arab. Bahkan ia mendirikan Sekolah Penterjemah.
2.
Gerakan Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi
pada sumber ajaran Islam murni.
Pegemban
pola ini berpandangan bahwa Islam merupakan sumber kemajuan dan perkembangan
peradaban dan ilmu pengetahuan modern, Islam penuh dengan ajaran yang
mengandung potensi untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan bagi ummat
manusia . Dalam hal ini, Islam telah membuktikaan pada masa kejayaannya.[4]
Menurut
analisis mereka, di antara sebab seluruh kelemahan ummat Islam, adalah karena
mereka tidak lagi mengamalkan ajaran Islam sebagaimana mestinya. Sumber utama ajaran
Islam diabaikan dan menerima ajaran Islam yang tidak murni lagi. Hal tersebut
terjadi setelah mandeknya perkembangan filsafat Islam, pola pemikiran rasional
ditinggalkan, dan menganut pola hidup Pasif. Disamping itu, dengan penutupan
pintu ijtihad, umat Islam kekurangan daya pikir mengatasi problematika hidup
yang semakin banyak akibat perubahan dan perkembangan zaman.
Pola
perubahan dasar ajara Islam murni ini, dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab
kemudian digerakkan lanjut oleh Jamaluudin Al-Afgani dan Muhammad Abduh ( Akhir
abad ke 19).
Menurut
Jamaluddin Al-Afgani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali al-Qur’an dan
Hadist dalam arti yang sebenarnya, tidaklah kaku. Ia berkeyakinan bahwa Islam
adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Menurut
Muhammad Abduh, al-Qur’an bukan semata-mata ditunjukkan kepada hati manusia,
tetapi juga pada akalnya. Menurutnya, Islam agama rasional. Abduh melihat bahwa
yang timbull dari sistem dualisme dalam pendidikan Islam. Sistem madrasah lama akan
menghasilkan ulama yang tidak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern,
sedang sekolah-sekolah pemerintah akan menghasilkan ahli yang sedikit
pengetahuan agamanya.
Dengan
memasukkan ilmu pengetahuan modern kedalam Al-Azhar dan dengan memperkuat didikan
agama di sekolh-sekolah pemerintah, jurang pemisah golonga ulama dari golongan
ahli ilmu modern akan diperkecil.
3.
Usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi
nasionalisme
Rasa
nasionalisme timbul bersamaa dengan berkembangnya pola kehidupan modern,
dimulai dari barat. Bangsa-bangsa barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme,
kemudian menimbulkan kekuatan politik dan berdiri sendiri. Keadaan tersebut
mendorong dunia timur untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing. Hal
tersebut dianggap sangat mendasar, karena umat Islam terdiri atas berbagai
bangsa yang berbeda latar belakang, dan sejarah perkembangan kebudayaannya.
Mereka hidup bersamaan dengan menganut agama lain di dalam bangsa itu. Inilah
yang juga medorong berkembangnya rasa nasionalisme didunia Islam.[5]
Golongan
nasionalis ini, berusaha memperbiki kehidupan ummat Isslam dengan memperhatikan
situasi dan kondisi obyektif bangsa itu. Dalam usaha pembaharuan tersebut,
golongan ini tidak hanya mengambil unsur-unsur budaya barat yang sudah maju, tetapi
juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari warisan budaya bangsa yang
bersangkutan.
Ide
kebangsaan atau nasionalisme pada perkembangan berikutnya medorong timbulnya
usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri. Umat Islam
yang berhasil mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri, mengembangkan
sistem dan pola pendidikan nasionalnya masing-masing.
[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo,
2013), h. 188.
[2] Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan dan Peradaban Islam dari Masa Ummayah
hingga kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Cakrawala Publishing), h. 94.
[3] Ibid, h. 95.
[4] Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan dan
Peradaban Islam dari Masa Ummayah hingga kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta:
Cakrawala Publishing), h. 97.
[5] Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan dan
Peradaban Islam dari Masa Ummayah hingga kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta:
Cakrawala Publishing), h. 99.