Ushul fikh adalah dua kata yang secara istilah mengandung arti
kumpulan kaedah-kaedah yang bersifat kulliyah (universal) yang menjadi landasan
metodologis penetapan hukum-hukum fikih dari dalil-dalil syariat. Dengan
demikian, ushul fikh merupakan instrumen dalam mengetahi banar-salahnya suatu
ketetapan hukum, atau untuk mengetahui kekuatan argumen dari seorang mujtahid
dalam menetapkan hukum serta perbedaannya dengan argumen lainnya yang juga
datangnya dari seorang mujtahid.
Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil syari’ yang bersifat
umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Jadi
seorang pakar ilmu ushul membahas tentang qiyas dan kehujjahannya,tentang dalil
‘Amm dan yang membatasinya,dan tentang perintah (amr) dan dalalahnya,demikian
seterusnya.
A.
OBYEK
PEMBAHASAN DALAM USHUL FIKH
Dalam sistematika
penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan
arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan tersebut.
Menurut Abdullah bin
Umar al-Baidlawi ada tiga masalah pokok
yang akan dibahas dalam ushul fikh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum,
tentang metode istinbath, dan tentang ijtihad. Menurut Abdullah bin Umar
al-Baidlawi kajian tentang hukum (al-hukm) diletakkan pada bagian pendahuluan.
Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), ahli ushul fiqh dari kalangan
syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan,
melainkan pada bagian pertama masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam
ushul fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan
ushul fiqh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.
Pembahasan
tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih,
dan mahkum ‘alaih.
2.
Pembahasan
tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
3.
Pembahasan
tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu
4.
Pembahasan
tentang ijtihad
Secara global muatan
kajian ushul fiqh seperti dijelaskan diatas menggambarkan objek bahasan ushul
fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan
tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut.
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada empat seperti
dikemukakan di atas, namun Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi ushul
al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian ushul fiqh adalah
tentang dua hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam
(hukum-hukum syara’). Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama ushul
fiqh yang hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek
bahasan tersebut yang dikaji dalam ushul fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari
segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci
dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat
di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas
menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), lafal umum yang sudah
ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanny).
Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam
menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian
pengertiannya menunjukan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian
cakupannya dikaji dari segi ketidakpastian penunjukannya terhadap sisa cakupan
pengertiannya mengenai hukum.
Begitulah setiap teks
ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji
sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang diluruskan
dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian hukum syara’ dijelaskan secara
panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa
ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat
antara hukum dan dalil-dalil syara’. Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini
adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya
al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah. Ia mengatakan:”setiap kajian yang dirumuskan
dalam ushul fiqh yang tidak bisa dibangun diatasnya hukum fiqh, atau adab sopan
santun syara’, atau tidak membantu untuk pembentuk-an hal-hal tersebut, maka
meletakkan hal seperti itu dalam ushul fiqh adalah sia-sia.
Secara umum, sesuai
dengan keterangan pengertian ushul fikh, maka yang menjadi objek pembahasannya
meliputi:
a.
??????: Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
Pembahasan tentang dalil dalam ushul fikh
adalah secara global, di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam
dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam ilmu ushul fiqh
tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
(a).Mutafaq
‘alaih (yaitu dalil yang di sepakati)
(b).mukhtalaf
hadis (Yaitu hadist hadist yang masih di perdebatkan ke shohihannya)
b.
?????? ?? ????? ??? : Pembahasan
tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum bih, mahkum fih, dan mahkum
‘alaih.
Pembahasan tentang hukum dalam ilmu
ushul fiqh adalah secara umum, Tidak dibahas secara terperinci hukum bagi
setiap perbuatan. Pembahasn tentang hukum ini meliputi pembahasan tentang
macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang
yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih), syarat-syarat ketetapan hukum
(al-mahkum bih), dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatannya ditetapi hukum
(al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
1) Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh".
Q.S. al An'am. A.57
2) Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu
perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari
bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad
SAW.
3) Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu
orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat.
Perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat,
bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak
manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang
mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan
jawab.
c.
????? ???????? : Pembahasan tentang cara/kaidah mengistinbathkan hukum syara’
dari sumber – sumber dan dalil yang mengandungnya.
Adalah daya usaha membuat keputusan
hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-Quran atau Sunnah yang sedia ada. Pembahasan tentang
kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang
bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan
sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai
ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
Metode
istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode istinbath
secara keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana dalam
pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil
yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahim al-isnawi, mendahulukan
dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis
yang mutawatir atas hadis yang tidak mutawatir, dan lain-lain yang umumnya
dibahas dalam kajian ta’arud al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode
tarjih (cara mengetahui mana yang lebih kuat sehingga harus didahulukan).
d.
???????? : Pembahasan tentang ijtihad
Adalah sebuah usaha yang
sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah
berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal,
syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan
orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.
Dalam
pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang
yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata
ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.
Dalam membicarakan sumber hukum, dibicarakan pula kemungkinan
terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula
tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode
dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang
ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat
ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad
atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam ushul fikh inilah dibahas
bagaimana para mujtahid mencapai kesepakatan menyangkut sumber-sumber hukum
fikh, dan di mana letak perbedaan pandangan mereka. Seperti diketahui, bahwa
para mujtahid telah menyepakati Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma sebagai sumber
utama penetapan hukum fikih . Adapun sumber-sumber lain, ada yang hampir di
sepakati secara umum seperti qiyas, dan hanya sekolampok kecil menolaknya, dan
ada pula yang tetap menjadi perselisihan dikalangan para mujtahid. Sumber macam
terahir ini adalah istihasan, istishlah ( mashlahah mursalah ), syariat sebelum
islam, fatwah sahabat, saddu al-dzari’ah dan istishhab.
Pembahasan tentang sumber-sumber
hukum fikih di atas, banyak di kaitkan dengan pembahasan tentang al-hakim atau
al-syari’ (pencipta syari’at), dalam hal ini adalah Allah swt dan rasul-Nya.
Berkaitan dengan ini, lahirlah pembahasan tentang peranan akal sebagai salah
satu sumber ijtihadiy dalam berfikih.
Selanjutnya di bahas pula mengenai al-mahku’alaih (mukkallaf), yang berkaitan
pula dengan pembahasan istitha’ah (daya mukallaf) dan niat (kesengajaannya)
dalam berbuat dan al-mahkum bih
(amal-amal perbuatan ) mukallaf itu sendiri.
Pembahasan tentang hukum, yang
kemuadian di bedakan antara hukum taklif ( wajib, mandub, haram, makruh dan
mubah ) dan hukum wadha’iy, yakni hukum yang timbul karna pertalian antara dua
obyek hukum atau lebih. Pembahasan tentang ini pula melahirkan pengetahuan
tentang syarat-syarat suatu amal (syarth), sebab-sebab adanya tuntutan
melakukan amal ( sabab), sebab- sebab terhalangnya suatu amal ( mani’) sah dan
batalnya suatu amal, adanya rukhshah ( kemudahan ) meninggalkan amal-amal
tertentu.
Di samping itu, hal yang tak kalah
pentingnya di bahas dalam ushul fikih ialah thuruq al-istinbhath ( metode
istinbaht ), yang secara mendasar ada dua macam, yakni istinbhat berdasarkan
lafazh dan istinbat berdasarkan makna. Dalam membahas mengenai hal ini, terkait
dengan upava mujtahid menganalisis kejelasan dan ketidakjelasan suatu dalil
sehingga lahir istilah qath’iy dan zhanniy, pembahasan mengenai bentuk dilalah
dari lafazh-lafazh itu sendiri yang melahirkan istilah ‘ ibarah, isyarah,
mafhum muwafaqah, mafum mukhalafah, dan dilalah iqtidha”. Demikian pula
pembahasan mengenai ruang cakupan suatu dalil yang dibagi dalam empat macam,
yakni dalil’ am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Termasuk pula pembahasan
mengenai lafazh adalah taklif ( shighat al-taklif) yang didukun oleh dalil,
yang secara garis besarnya adalah awamir ( dalil-dalil yang mengandung
perintah), nawahiy ( dalil-dalil yang mengandung larangan) dan ibaha. Dalam
kaitan inilah timbul penetapan hukum
fiqh yang meliputi : wajib, mandub, haram, makruh, mubah.
Dalam ushul fiqh dibahas pula sifat-sifat
mujtahid, yakni diantaranya mujtahid yang melakukan ijtihad secara mutlak tanpa
terikat oleh pendapat mujtahid lain dan tanpa membatasi wilayah ijtihadnya,
seperti yang dilakukan oleh empat mazhab besar ( Abu Hanifah, Malik,
Al-Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula yang berijthad tetapi terkit
dalam satu mazhad : adapula yang berijtihad menyangkut sebahagian masalah fiqh
saja sedang pada masalah lainnya mengikuti mazhab tertentu.
Dari keterangan di
atas, jelas bahwa yang yang menjadi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat
esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah
hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil.
Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa
masuk kepada rinciannya, karena rinciannya, seperti dikemukakan sebelumnya,
dibahas dalam ilmu fiqih oleh mujtahid.
Untuk menjelaskan terhadap hal ini, saya akan membuat beberapa
contoh berikut :
Al-qur’an adalah dalil syar’i yang
pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang ditasyri’iyyah tidaklah dalam satu bentuk
saja,akan tetapi diantaranya ada yang datang dalam bentuk amar (perintah) ada
pula yang dalam bentuk nahi (larangan),dan ada pula yang dalam bentuk umum atau
mutlak. Bentuk perintah, larangan, bentuk umum, dan bentuk mutlak merupakan
beberapa macam yang bersifat umum dari aneka macam dalil syar’i yang umum pula,
yaitu: al-qur’an. Jadi seorang ahli ushul fikh membahas terhadap setiap macam
dari aneka macam ini supaya ia dapat sampai kepada bentuk hukum yang menjadi
dalalahnya, dimana dalam membahasnya ia mempergunakan penyelidikan tentang uslub-uslub bahasa arab dan pemakaian
hukum syara’.
Kemudian apabila melalui pembahasannya
itu, ia sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian
pewajiban, shighat larangan menunjukkan pengertian pengharaman, shighat umum
menunjukkan pengertian tercakupnya semua satuan-satuan pada dalil umum secara pasti, dan bentuk
mutlak menunjukkan tehadap tetapnya hukum secara mutlak, maka ia membuat
beberapa kaidah sebagai berikut:
-
Perintah adalah
untuk pewajiban ( ???????????????????????? )
-
Larangan adalah
untuk pengharaman ( ??????????
?????????? ???? )
-
Sesuatu yang
umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti
( ??????
??? ?????????? ???????? ?? ????????? ??????? )
-
Sesuatu yang
mutlak menunjukkan terhadap satuan secara merata tanpa batasan.
( ???????????? ???? ??? ????? ????????? ?????? ???? ???????? ??????? )
Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh
ahli ilmu ushul fiqh melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu
diambil oleh ahli fiqh sebagai kaidah yang diterima dan ia terapkan terhadap
bagian-bagian dalil umum, supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang
berkenaan dengan perbuatan manusia secara rinci. Jadi faqih menerapkan kaidah:
“perintah menunjukkan pengertian pewajiban” terhadap firman Allah SWT.:
?????????????????????
??????????????????????????????? ( ??????? : 1 )
Artinya
:
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
(QS.Al-Maidah : 1)
Dan ia menetapkan bahwa memenuhi akad adalah wajib hukumnya. Ia
juga menerapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman” terhadap firman
Allah SWT.:
??????????????????????????????????????????????
???? ?????? ( ??????? : 11 )
Artinya
:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang
lain…”. ( QS.Al-Hujurat : 11)
Kemudian ia memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap
kaum lainnya adalah haram hukumnya.
Ia
juga dapat menerapkan kaidah : "
( ?????????????????
?????????? ???????? ?????????? sesuatu
yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti )” terhadap firman Allah SWT. :
?????????
?????????? ?????????????? (?????? : 23)
Artinya
:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu….”. (QS.An-Nisa’ : 23)
Selanjutnya
ia menetapkan bahwa semua ibu diharamkan. Dan ia juga dapat menerapkan kaidah
( ????????????
??????? ????? ????? ?????? )
“sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan manapun” terhadap firman Allah SWT. tentang kaffarat
zhihar :
???????????????????? (
???????? : 3 )
Artinya
:
“…
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak…”.
(QS.Al-Mujadilah : 3)
Kemudian
ia menetapkan bahwa didalam kaffarat zhihar cukup dengan memerdekakan seorang
budak, baik muslim maupun non muslim.
Dari
uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli (umum) dan dalil
juz’I (detail), dan jelas pula perbedaan antara hukum kulli dan hukum juz’i.
Jadi dalil kulli adalah suatu bentuk umum dari
berbagai dalil, yang didalamnya terkandung sejumlah dalil juz’I (detail)
seperti : amar (perintah), nahi (larangan), ‘amm, mutlak, ijma’ sharih (yang
nyata), ijma’ sukuti (tidak nyata), qiyas yang illatnya tercantum dalam nash,
dan qiyas yang illatnya diistimbathkan. Amar merupakan dalil kulli yang
dibawahnya terkandung seluruh bentuk yang disampaikan dalam bentuk amar. Nahi
merupakan dalil kulli yang dibawahnya termasukseluruh bentuk yang disampaikan
dalam bentuk nahi (larangan). Demikian seterusnya. Amar (perintah) merupakan
dalil kulli dan nash yang datang dalam bentuk amar merupakan dalil juz’i. nahi
(larangan) merupakan dalil kulli, sedangkan nash yang datang dalam bentuk
larangan adalah dalil juz’i.
Adapun hukum kulli, maka
ia adalah sesuatu bentuk umum daripada hukum, yang dibawahnya termasuk sejumlah
bagian-bagian, seperti ijab (pewajiban), tahrim (pengharaman), shihhah (shah),
dan buthlan (batal). Ijab merupakan suatu hukum kulli yang didalamnya tercakup
pewajiban memenuhi berbagai perjanjian, pewajiban adanya beberapa saksi dalam
perkawinan, dan pewajiban hal yang wajib lainnya. Tahrim (pengharaman) juga
merupakan hukum kulli yang didalamnya terkandung pengharaman zina dan pencurian
dan pengharaman apa saja yang diharamkan. Demikian pula sah dan batal. Dengan
demikian, ijab (pewajiban) merupakan hukum kulli dan pewajiban perbuatan
tertentu merupakan hukum juz’i.
Ahli ilmu ushul fiqih tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyyah, tidak pula mengenai hukum-hukum juz’iyyah yang ditunjukinya; akan tetapi ia hanya membahas terhadap dalil kulli dan hukum kulli yang ditunjukinya, supaya ia dapat membuat kaidah-kaidah umum bagi pengertian berbagai dalil, agar diterapkan seorang faqih terhadap dalil-dalil juz’iyyah untuk menghasilkan hukum yang rinci. Seorang faqih tidak membahas mengenai dalil kulli maupun hukum kulli yang ditunjukinya, akan tetapi ia hanyalah membahas mengenai dalil juz’I dan hukum juz’I yang ditunjukinya.
DAFTAR PUSTAKA
- DR. MISBAHUDDIN, USHUL FIQH I, MAKASSAR-ALAUDDIN UNIVERSITY PRESS, DESEMBER 2013. HLM. 5.
- PROF.DR.H.AMIR SYARIFUDDIN, USHUL FIQH JILID I, JAKARTA: LOGOS WACANA ILMU, 1997. HLM. 41.
- PROF.DR.H.HAMKA HAQ, PENGARUH TEOLOGI DALAM USHUL FIQH, MAKASSAR: ALAUDDDIN UNIVERSITY PRESS, 2013. HLM. 74.
- PROF. ABDUL WAHHAB KHALLAF, ILMU USHUL FIQH, DINA UTAMA SEMARANG: TOHA PUTRA GROUP, 1994. HLM. 2-5.
- PROF. ABDUL WAHHAB KHALLAF, KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM (ILMU USHULUL FIQH), JAKARTA: PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2000. HLM. 3.
-
PROF.Dr.H.SATRIA EFFENDI,
USHUL FIQH, JAKARTA: PT. FAJAR INTERPRATAMA MANDIRI, 2005. HLM. 11-13.