A.Hal-hal
yang Berkaitan dengan Lafaz
Segenap ulama
Islam telah meyakini dan menyepakati Al-Qur’an dan Hadis sebagai pegangan utama
dan umat Islam tidak akan tersesat selama-lamanya selama mereka tetap berpegang
kepada dua sumber tersebut. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kedua sumber
dimaksud terdiri dari lafaz-lafaz bahasa Arab yang dalam suku katanya mempunyai
arti banyak, dimana antara arti yang satu dengan yang lain saling bertentangan,
atau ada banyak kata tetapi mempunyai arti yang sama. Selanjutnya, ada lafaz
yang dari satu sisi dipandang sebagai hakikat,
tetapi di sisi lain dianggap sebagai majaz,
ada lafaz dalam bentuk mutlaq, dan
ada yang muqayyad. Dan, di samping
itu lagi, ada yang berbentuk perintah dan ada pula yang berbentuk larangan,
dsb.
Di antara lafaz yang mempunyai arti
ganda biasa disebut lafaz musytarak,
terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur?ÆóÁ/u?tIt?£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4
“Dan perempuan-perempuan yang
ditalak hendaklah menahan diri tiga kali
quru’.”
Lafaz quru’ dalam ayat di atas punya arti
ganda: suci dan haid. Karena memang lafaz tersebut digunakan oleh bangsa Arab
untuk kedua makna tersebut. Oleh karenanya, sebagian ulama mengartikan quru’ dengan suci, seperti kelompok
Syafi’iyah, sehingga mereka mewajibkan iddah
wanita yang ditalak tiga kali suci. Sebaliknya kelompok Hanafiyah mengartikan
lafaz quru’itu dengan haid, sehingga
mereka mewajibkan iddah wanita yang
ditalak seperti disebut di atas selama tiga kali haid, bukan tiga kali suci.
Kemudian,
ada ulama yang memakai arti lughwydari
suatu lafaz dan ada pula yang memakai arti syar’i (epistimologi). Misalnya,
lafaz nikah dalam surah An-Nisaa ayat 22 :
?wur(#qßsÅ3Zs?$tByxs3tRNà2ät!$t/#uä
“Dan janganlah kamu nikahi wanita
yang telah dinikahi oleh ayahmu.”
Menurut
lughat (etimologi), nikah berarti persetubuhan, dan menurut syara’ berarti
akad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah yang mengartikan lafaz tersebut dengan
makna yang disebut pertama; melarang seseorang kawin dengan wanita yang sudah
disetubuhi oleh ayahnya, baik perkawinan itu secara halal atau bukan. Di lain
pihak, ulama Syafi’iyah yang mengartikan lafaz nikah itu dengan akad nikah,
tidak melarang seseorang kawin dengan wanita yang telah disetubuhi ayahnya
secara tidak sah. Perkawinan itu baru terlarang kalau persetubuhan yang
dilakukan ayahnya dengan wanita itu adalah persetubuhan yang sah setelah
melalui akad nikah.
Begitu juga
beberapa bentuk kalimat lainnya, yang oleh keadaan lafaznya sendiri sering
membawa pengertian yang berbeda di kalangan ulama.
Hal-hal yang Berkaitan dengan Periwayatan
Kadang-kadang
sebuah hadis sampai kepada sebagian imam, lalu mereka beramal dengannya, dan
tidak sampai kepada sebagian yang lain, sehingga mereka beramal dengan dalil
lain pula. Misalnya, pertikaian ulama tentang kasus wanita yang ditalak tiga
suaminya. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 230:
?xsù?@ÏtrB¼ã&s!.`ÏBß?÷èt/4Ó®LymyxÅ3Ys?%¹`÷ry?¼çnu?öxî3
“Tidak halal ia bagimu sehingga ia
menikah dengan suami lain.”
Sa’id bin
Musayyab berpendapat bahwa istri yang ditalak tiga suaminya akan halal kembali
bagi suami yang mentalaknya setelah istri itu kawin dengan laki-laki walau
suami kedua itu tidak menyetubuhinya. Ulama lain mengatakan baru halal apabila
suami kedua tersebut sudah menyetubuhinya, karena ada riwayat lain yang
menyatakan :
“Hingga kamu merasakan madunya, dan
Dia merasakan madunya”
Hadis yang
disebutkan terakhir ini tidak sampai kepada Sa’id Musayyab sehingga ia tidak
beramal dengannya. Tambahannya lagi, nikah dalam pengertian syara’ adalah akad,
demikian Sa’id berpendapat.
Kecuali itu, ada
hadis yang sampai kepada seorang imam, tapi karena menurut penelitiannya
riwayat hadis tersebut lemah, meninggalkannya dan tidak beramal dengannya.
Padahal, menurut pendapat ulama yang lain, hadis itu dianggap kuat sebagai hujjah, ia beramal dengan hadis itu.
Hal-hal
yang Berkaitan dengan Ta’arudh
Permasalahan Ta’arudh adalah sebab yang paling banyak
menimbulkan perbedaan pendapat ulama dibidang hukum Islam. Oleh karenanya,
sebelum sampai ke permasalahan pokok, ada baiknya kalau ta’arudh dibicarakan terlebih dahulu walaupun sepintas.
Menurut bahasa, arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau
bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama ushul mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang
masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain. Misalnya, ada
ayat yang mewajibkan kita membuat wasiat untuk orang tua dan kerabat (QS.
Al-Baqarah : 178). Namun, di lain pihak hadis melarang wasiat itu kepada ahli
waris.
Contoh lain
adalah tentang membasuh atau menyapu kedua kaki ketika berwudhu. Hal ini
terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 6:
(#qßs|¡øB$#uröNä3Å?râäãÎ/öNà6n=ã_ö?r&ur?n<Î)Èû÷üt6÷ès3ø9$#4
“Dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Dalam satu
qiraat dibaca wa arjulakum sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa kaki itu
wajib dibasuh ketika berwudhu’. Namun. Dalam qiraat lain dibaca wa arjulikum
sehingga ada ulama yang mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika
berwudhu’.
Begitu juga
status mani yang menempel di kain. Dalam sebuah hadis, Nabi berkata bahwa mani
itu sama hukumnya dengan lendir hidung dan air liur. Namun, di pihak lain ada
lagi hadis yang menyatakan bahwa kain perlu dicuci dari lima hal: kencing,
berak, darah, muntah, dan mani.
Banyak lagi
contoh yang mengungkapkan ta’arudh
dalam lafaz nash, sehingga berbeda
pendapat dan sikap ulama dalam memahaminya. Namun, perlu dicatat bahwa ta’arudh yang sebenarnya tidak mungkin
terjadi dalam diri nashitu sendiri,
sebab pertentangan seperti itu kalau benar-benar ada berarti pertentangan dalam
diri syar’i, terutama Allah sendiri. Hal ini tentu mustahil adanya karena Allah
bersih dari segala macam konflik batin sebagaimana terdapat dalam diri manusia.
Oleh sebab itu, ta’arudh disini perlu
dipahami sebagai pertentangan dalam nash
menurut tanggapan manusia ketika mereka memahami nash itu sendiri. Oleh karena manusia tidak mungkin mengetahui
kebenaran hakiki dan mutlak sebagaimana adanya dalam konsep Allah, pertentangan
tersebut adalah semata-mata keterbatasan manusia dalam menangkap pesan-pesan
syar’i yang sedang mereka pelajari. Dan menyadari keadaan semua ini, para ulama
berusaha melepaskan diri dari pertentangan itu dengan menempuh dua jalan.
Pertama,
jalan Hanafiyah dan ulama-ulama yang sependapat dengannya. Kelompok ini
menempuh jalan pentarjihan, yaitu meneliti dalil mana yang lebih kuat dari dua
dalil yang kelihatannya bertentangan tersebut. Yang terkuat di antaranya,
itulah yang dipakai. Kelompok ini mendahulukan pentarjihan dari perekonomian.
Kedua,
jalan jumhur ulama. Kelompok ini mendahulukan pengompromian dua dalil yang
bertentangan itu dari pentarjihannya. Karena, dengan upaya pengompromian itu
berarti kita mengamalkan kedua dalil tersebut.
Ulama ushul
melihat bahwa ta’arudh tidak hanya
terjadi di sekitar ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga di antara dua
qiyas anatar kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil lain yang menyebabkan
pula berbedanya produk hukum yang dihasilkan.
Hal-hal
yang Berkaitan dengan ‘Urf
Seperti
diketahui masing-masing daerah mempunyai kekhususan, baik adat istiadat,
kondisi sosial, iklim, dsb. Semua kekhususan itu cukup berpengaruh kepada
masing-masing mujtahid dalam melakukan ijtihadnya. Ada ulama yang membolehkan
seseorang guru mengaji menerima upah mengajarkan Al-Qur’an karena tidak ada
guru yang mengajar tanpa dibayar. Sementara ulama daerah lain tidak melakukan
hal yang sama karena di daerah itu sudah berlaku kebiasaan tidak dibayarnya
guru mengaji dan memang banyak guru mengaji seperti itu.
Begitu
juga ada imam yang mengatakan najisnya debu di salah satu daerah karena
terbiasanya binatang ternak berkeliaran kotorannya tidak tertampung di tempat
tertentu, sementara ada imam lain yang mengatakan tidak najisnya debu
disebabkan daerah tersebut bukanlah daerah dimana binatang ternak bebas
berkeliaran seperti di daerah yang disebut pertama.
Hal-hal
yang Berkaitan dengan Dalil-dalil yang Diperselisihkan
Ketika kita
berbicara tentang sumber-sumber hukum fiqh telah diungkapkan bahwa dalil-dalil
yang disepakati jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam ada 4: Al-Qur’an,
Hadis, ijma, dan qiyas. Selebihnya seperti istihsan,
istishlah, ‘urf, dan lain-lainnya termasuk kepada dalil yang
diperselisihkan pemakaiannya. Artinya, para ulama tidak sepakat untuk memakai
itu semuanya sebagai sumber hukum. Ada yang memakai istihsan dan ada pula yang
menolaknya, dan begitu pula seterusnya. Bahkan, qiyas pun tidak digunakan oleh
Al-Zahir. Hal-hal ini semua cukup membuat beragamnya metode istinbat hukum yang
dihasilkan walau terhadap kasus tertentu.
Al-Zahir
misalnya, mengatakan tikus yang jatuh ke dalam benda cair selain minyak sapi, tidak
akan menajiskannya. Sebab hadis Nabi hanya mengatakan najisnya minyak sapi yang
dimasuki oleh tikus. Mereka tidak sependapat dengan golongan lainnya yang
mengatakan minyak sapi juga sama-sama benda cair. Al-Zahir tidak menerima qiyas
sebagai salah satu dalil hukum.
Dalam contoh lain, golongan Malikiyah membolehkan kita membunuh orang Islam yang dijadikan perisai orang kafir untuk menghancurkan Islam, dengan dasar maslahat al-mursalat. Sementara jumhur tidak membolehkan hal tersebut, karena mereka tidak menerima maslahat mursalat sebagai dalil. D