Kurikulum di tinjau dari Aspek Sosial, Budaya dan IPTEK

  • 10:28 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, wajar jika dalam penyusunan dan pelaksanaannya kurikulum sekolah banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat. Pengaruh tersebut berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa, isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.

Berbagai kekuatan sosial yang memengaruhi pengembangan kurikulum ada beraneka ragam. James W. Thornton dan John R. Wright, dalam bukunya “Secondary School Curriculum”, mengklasifikasikan berbagai kekuatan sosial yang memengaruhi kurikulum:

a.       Kekuatan sosial yang resmi, terdiri atas:

1)      Pemerintah suatu negara, melalui Undang-Undang Dasar, dasar negara, falsafah dan ideologi negara;

2)      Pemerintah Daerah, melalui berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan; dan

3)      Perwakilan Departemen Pendidikan setempat

b.      Kekuatan sosial setempat, yang terdiri atas:

1)      Yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan;

2)      Kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis;

3)      Perguruan Tinggi, yakni universitas, akademi, maupun institut;

4)      Persatuan Orang Tua Murid dan Guru;

5)      Penerbit buku-buku pelajaran;

6)      Perkumpulan yang berdasarkan kemanusiaan;

7)      Media massa seperti radio, televisi, dan surat kabar; dan

8)      Adat kebiasaan masyarakat setempat

c.       Organisasi profesional, seperti Persatuan Guru, Persatuan Dokter, dan ahli hokum.

d.      Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan kepentingan tertentu, seperti kelompok patriotik, ikatan pendukung cita-cita kemerdekaan, kelompok ekonomi,dan sebagainya.

Tentu saja masih banyak kekuatan-kekuatan sosial lainnya yang ikut mempengaruhi pengembangan dan pembinaan kurikulum. Setiap kekuatan sosial tersebut berusaha untuk memberikan pengaruh secara maksimal. Meskipun demikian, tentu saja para penyusun kurikulum dapat menerimanya berdasarkan pertimbangan yang seksama.

Sebagai kesimpulan, implikasi kemasyarakatan dalam pengembangan kurikulum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.       Sekolah adalah suatu institusi sosial yang didirikan dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun perbaikan kurikulum

b.      Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang meliputi berbagai komponen, yakni subsistem kepercayaan, nilai-nilai, kebutuhan, dan permintaan. Masing-masing komponen atau subsistem tersebut berpengaruh terhadap penyusunan dan pengembangan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi sosiologis masyarakat.

c.       Di dalam masyarakat terdapat beragam lembaga sosial yang masing-masing memiliki kekuatan, baik kekuatan potensial, strategis, dan riil. Semua kekuatan tersebut memberi pengaruh dan patut dipertimbangkan dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum, sehingga kurikulum sejalan dengan sifat dinamis dalam masyarakat.

  Masyarakat dan Kurikulum

Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda atau sekelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai sesuatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat bergantung kepada kebudayaan dimana ia hidup.

Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan yaitu logika, estetika dan etika. Logika adalah aspek pengetahuan berkaitan dengan aspek emosi, penalaran dan etika berkaitan dengan aspek nilai kebudayaan adalah nilai-nilai yang bersumber pada logika (pikiran) sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia maka, kehidupan manusia semakin luas semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi.

Pendidikan Harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru sebagai pembina dan pelaksanaan kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat.

Penerapan teori, prinsip, hukum dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam kehidupan. Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan masyarakat.

Tyler, Taba, Tanner, Tenner mengatakan bahwa tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, ligh, dan Keller (1997) memaparkan tujuan fungsi sosial pendidikan yaitu:

1.      Mengajar keterampilan

2.      Mentransmisikan budaya

3.      Mendorong adaptasi Lingkungan

4.      Membentuk kedisiplinan

5.      Mendorong bekerja kelompok

6.      Meningkatkan perilaku etik

7.      Memiliki bakat dan memberi penghargaan prestasi.

Perubahan sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri. Masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat tradisional berbeda dengan masyarakat modern.

 Adapun perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain adalah sebagian besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat dipenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu dan ketertarikannya dengan lingkungan sosial setempat. 

Berdasarkan uraian di atas sangatlah penting memperhatikan faktor karakteristik masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut ketersediaannya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangan nya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.

  Kebudayaan dan Kurikulum

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan cita-cita pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian dan nilai-nilai yang telah disepakati oleh masyarakat. Daoed Yusuf (1981) medefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika) kemampuan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:

1.      Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan dan nilai lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berbeda.

2.      Kegiatan yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem social. Dalam sistem sosial aktivitas manusia bersifat konkret bisa dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.

3.      Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga inilah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat. Oleh karena itu wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.

Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:

1.      Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan cita-cita sikap pengetahuan keterampilan dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar dan sekolah lembaga pendidikan. Oleh karena itu sekolah lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.

2.      Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam seperti masyarakat industry, pertanian, nelayan dan sebagainya. Pendidikan di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lain serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk berbudaya. Hal ini implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan dan kecakapan.

Salin pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum di atas terdapat pula pendidikan yang bermuatan kebudayaan khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan tertentu dan berkenaan dengan kelompok yang sifatnya vokasional. 

Dilihat dari karakteristik sosial budaya, setiap daerah wilayah tanah air Indonesia memiliki ciri khas mengenai adat-istiadat, tata karma, pergaulan, kesenian, bahasa lisan maupun tulisan, kerajinan dan nilai-nilai kehidupan masing-masing. Keanekaragaman tersebut bukan hanya dalam kebudayaan, tetapi juga kondisi alam dan lingkungan sosial dan ini merupakan kekayaan hidup bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan melalui upaya pendidikan perancang dari kenyataan tersebut maka pengembangan kurikulum sekolah harus mengakomodasi unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam penetapan materi kurikulum muatan lokal.

Gagasan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan kurikulum muatan lokal tersebut yang dimulai pada sekolah dasar telah diwujudkan dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan Lokal Sekolah Dasar kemudian disusul dengan penjabaran pelaksanaannya dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 173 /C/Kep/M/ 1987 Tanggal 7 Oktober 1987.” Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan dalam hal ini harus diingat bahwa adanya muatan lokal dalam kurikulum bukan bertujuan agar anak terjerat dalam lingkungannya semata-mata semua anak berhak mendapat kesempatan guna lebih terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas lingkungannya sendiri” (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000: 274).

Adapun yang dimaksud dengan muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah. Yang dimaksud dengan isi adalah  materi pelajaran atau bahan ajar yang dipilih dari lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari siswa di bawah bimbingan guru. Sedangkan media penyampaian adalah metode berbagai alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal yang diambil dari dan menggunakan sumber lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik. Lingkungan sosial dan budaya yang terdapat dalam pola kehidupan daerah karena keanekaragamannya disederhanakan dan diklasifikasikan menjadi 8 kelompok yaitu:

1.      pertama perikanan darat dan laut

2.      peternakan

3.      persawahan

4.      aman dan perkebunan

5.      perdagangan termasuk didalamnya jasa

6.      industri kecil termasuk di dalamnya industri rumah tangga

7.      industri besar

8.      pariwisata.

Tujuan pengembangan kurikulum muatan lokal dapat dilihat dari kepentingan nasional dan kepentingan peserta  didik. Dalam hubungannya dengan kepentingan nasional motor lokal bertujuan:

1.      Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang khas daerah

2.      Mengubah nilai dan sikap masyarakat terhadap lingkungan ke arah yang positif.

 Pengaruh Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Volume khazanah ilmu pengetauan bertabah terus yang di tandai dengan fakta bahwa setiap lebih kurang 15 tahun, menurut Ornstein dan Hunkins (1988: 125), pengetahuan utama kita bertambah dua kali lipat. Bentley Glass (1970) menyatakan, walau ini dianggap besar-besarkan, jumlah pengetahuan ialah pada akhir hayat seseorang menjadi hampir 100 kali lipat dari ketika ia lahir (Ornstein dan Hunkins, 1988:125). Selain itu, Warren Zigler (1981) yakin bahwa lebih banyak matematika yang ditemukan sejak 1900 dibandingkan sebelumnya, seperdua pengetahuan yang dipelajari mahasiswa pascasarjana teknik hari ini akan usang dalam 10 tahun mendatang, setengah yang dipelajari seseorang akan using ketika dia separuh baya (Ornstein dan Hunkins, 1988:125).

Ledakan pengetahuan seperti gambaran di atas menarik perhatian pendidik karena fenomena ini selain telah berada di hadapan kita juga sangat berpengaruh pada dan dapat menentukan arah kurikulum masa depan masalah pokok ialah seleksi pengetahuan yang masuk kurikulum yaitu pengetahuan yang bermanfaat bagi siswa dan menghadapi kehidupan masa depan artinya pertanyaan yang diajukan Spencer lebih 100 tahun lalu tentang pengetahuan apa yang berguna masih relevan dengan masa kini karena suatu pengetahuan menghasilkan pengetahuan baru dan banyak pola pertama yang akan usang adalah mustahil semua pengetahuan yang ada akan dapat diajarkan kepada atau dipelajari oleh siswa menghadapi kehidupan yang berubah untuk menanggulangi masalah tersebut Toffler menganjurkan agar knowledge tauht should be related to the future, pengetahuan yang diajarkan kini harus mempertimbangkan validasi dan relevansi pengetahuan yang diajarkan kini bagi kebutuhan kehidupan siswa di masa depan. Maksudnya perlu diwaspadai agar konten kurikulum sekarang relevan dengan upaya menempuh tuntutan kehidupan siswa ketika ia menyelesaikan pendidikan di masa depan.

Sehubungan dengan kurikulum harus berorientasi masa depan, Draper Kauffman (1976) mengidentifikasi enam kompetensi sebagai sasaran future- oriented curriculum:  Memiliki akses pada informasi, mampu berpikir,  dapat berkomunikasi efektif, memahami lingkungan hidup manusia, memahami individu masyarakat dan meningkatkan kompetensi personal (Orsntein dan Hunkins, 1988:332).

Selain itu menghadapi perubahan, masa depan dan ledakan Pengertian tersebut, tugas pokok pendidik dan pengembangan kurikulum menurut Ornstein dan Hunkins (1988:125), berkaitan dengan: seleksi pengetahuan yang harus masuk kurikulum dan bagaimana mengorganisasi pengetahuan itu agar kurikulum efektif.