Keluhan tentang masalah pendidikan nasional secara involutif berkutat pada
masalah soal kecilnya anggaran pendidikan. Keluhan tentang kecilnya anggaran
itu seakan meniadakan unsur-unsur lain yang cukup signifikan memberikan
kontribusi besar terhadap buruknya sistem pendidikan nasional, seperti lemahnya
kemampuan pengelolaan pendidikan nasional; lemahnya kemampuan manajerial keuangan,
sehingga menimbulkan inefesiensi cukup besar; mentalitas korup di lembaga yang
mengurusi pendidikan; kecenderungan kapitalisasi pendidikan; serta hegemoni
partai politk atau penguasa yang mencapai tingkat paling bawah. Persoalan soal
anggaran pendidikan boleh jadi hanya salah satu faktor saja, bukan satu-satunya
masalah di bidang pendidikan.
Wacana soal kecilnya
anggaran pendidikan itu cukup mendominasi wacana pendidikan nasional, dan mampu
menggeser perdebatan paragdimatik. Hal itu sengaja digulirkan oleh birokrasi
yang orientasi berpikirnya project oriented. Bagi mereka, kecilnya
anggaran pendidikan berarti berimplikasi pada sedikitnya proyek dan kecilnya
uang yang dapat dikorupsi, sehingga proyek tetap besar dan uang yang dapat
dikorupsi besar, maka isu tentang kecilnya anggaran pendidikan terus digulirkan
terus menerus. Wacana tersebut kemudian diyakini sebagai kebenaran faktual oleh
para pengamat atau akademisi pendidikan tanpa sikap kritis. Hampir semua orang
setiap kali berbicara pendidikan, larinya pasti pada kecilnya anggaran sebagai
biang keladi bobroknya sistem pendidikan nasional.
Mental Korup
Bila kita mencoba membandingkan anggaran pendidikan di Indonesia dengan
negara-negara lain dikawasan ASEAN, anggaran pendidikan Indonesia dapat dikatakan
kecil, terutama dibandingkan dengan penduduknya yang mencapai 260 juta jiwa.
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap tahunnya
tidap pernah habis, dan selalu menyisakan ratusan milliar tiap tahunnya.
Kalau memang problemnya adalah kecilnya anggaran pendidikan, maka logikanya
semua dana pendidikan yang tersedia dapat terserap. Penulis percaya bahwa
anggaran yang tinggi itu penting, tetapi bukan yang terpenting untuk
memperbaiki sistem pendidikan nasional. Artinya, anggaran setinggi apapun tidak
menjamin akan mampu memperbaiki sistem pendidikan nasional, bila para
pengelolanya masih tetap ber-mental korup, kolusi dan project oriented,
dan kurang mampu dalam hal manajerial. Atau bahkan menjadikan pendidikan
menjadi lahan komersialisasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, ibarat
menjadikan sekolah sebagai pasar.Dengan kata lain, tinggi rendahnya alokasi
dana pendidikan tidak menjadi permasalahan, me-lainkan yang menjadi biang
masalah adalah dana pendidikan dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien
untuk pelaksanaan pendidikan.
Hasil audit BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) setiap tahun menunjukkan penggunaan anggaran di institusi
pemerintah termasuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, selalu
memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran pemerintah, sehingga
terjadi kebocoran dan interfisiensi yang tinggi. Alokasi anggaran terbesar
tentu saja berada dalan direktorat pembinaan SD dan SMP, tapi dalam direktorat
ini pula sering terjadi korupsi dari soal pendirian gedung atau rehabilitasi
gedung, penerbitan buku pelajaran, sampai penyaluran beasiswa. Mirisnya, orang
begitu peduli terhadap segala bentuk penyelewengan maupun korupsi tersebut.
Anggaran pendidikan
nasional pertama kalinya mencapai kenaikan seginifikan di era presiden
Abdurrahman Wahid, dengan persentase cukup tinggi (22,5 %). Ini menjadi komitmen presiden Gus
Dur pada bidang pendidikan, yang tidak hanya diucapkan, tetapi ada aksi nyata
di lapangan. Banyak orang yang gembira akan hal tersebut, namun salah seorang
anggota DPR mengatakan bahwa kenaikan anggaran itu hanya sebesar 6 % dari dana
rekapitulasi Bank BNI. Artinya, kenaikannya memang signifikan tapi tidak
otomatis mencerminkan bahwa pendidikan menjadi sektor utama dalam prioritas
penerimaan anggaran.
Butuh Perencanaan Matang
Besarnya peningkatan
anggaran pendidikan justru menjadi bumerang dan tidak otomatis menjamin adanya
peningkatan kualitas pendidikan nasional, bila tidak disertai dengan
perencanaan yang matang, dan pengelolaan yang baik. Kenaikan anggaran
pendidikan bisa memperparah mental korupsi yang ada dalam Kementerian
Pendidikan, yang sering disebut kementerian paling korup setelah Kementerian
Agama. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat kemampuan institusi
untuk melakukan perencanaan yang matang dan pengelolaan dana yang baik belum
teruji di lapangan. Agar pengalokasian anggaran itu bisa tepat sasaran, tanpa
harus mengulangi kesalahan masa silam seperti pemborosan anggaran dan efisiensi
penggunaan anggaran. Kementerian Pendidikan perlu mengembangkan suatu model
perencanaan yang lebih partisipatif, melibatkan berbagai pihak yang terkait (multi
stakeholder). Kekeliruan masa lalu, sepert perencanaan dilakukan secara
sentralistik harus diubah dan melibatkan daerah dalam setiap perencanaan maupun
kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan.
Tuntutan adanya kemampuan
merencanakan itu juga berkaitan dengan keluhan yang sering disampaikan oleh
para pengelola sekolah-sekolah swasta. Pemerintah cenderung memberikan bantuan
kepada sekolah-sekolah negeri saja, termasuk sekolah negeri yang sudah maju. Bahkan
ironisnya, sekolah-sekolah negeri yang sudah maju selalu kelebihan fasilitas,
karena setiap ada bantuan yang datang, sekolah yang maju menjadi prioritas
utama, sementara sekolah-sekolah swasta yang berada di daerah pinggiran atau
perdesaan tidak pernah tersentuh sama sekali. Jangankan untuk mendapatkan
bantuan, masuk hitungan untuk pengambilan kebijakan saja belum tentu. Para
pengambil kebijakan di lingkungan Kementerian Pendidikan seharusnya memiliki
wawasan yang luas mengenai keberadaan sekolah-sekolah negeri dan swasta.
Diskriminasi anggaran harus dihapuskan, mengingat masyarakat kurang mampu
bersekolah di sekolah swasta, terutama sekolah swasta yang kumuh yang berada di
daerah pinggiran. Alokasi anggaran tidak hanya diberikan sekolah swasta yang
kecil saja, melainkan seluruh sekolah swasta meskipun sekolah tersebut
tergolong kaya, karena setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan,
termasuk mereka yang bersekolah swasta.
Diskriminasi dalam
perencanaan dan penganggaran justru dapat memperlebar disparitas mutu antara
sekolah negeri dan swasta, atau antara negeri favorit atau negeri tidak
favorit, antara swasta favorit dan swasta pinggiran. Kenaikan anggaran
pendidikan hanya dirasakan golongan menegah keatas saja, sangat jarang
menyentuh mereka yang tergolong kaum kecil yang sering membayar SPP pas-pasan
bahkan sering terlambat. Kaum kecil yang seharusnya menjadi prioritas utama
dalam pemberian bantuan, justru tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang baik
oleh negara.
Kemampuan manajerial
birokrasi pendidikan itu juga akan terlihat jelas melalui kebijakan-kebijakan
yang dilahirkannya. Mendirikan sekolah-sekolah negeri baru ditengah kondisi
sekolah swasta yang kembang kempis, jelas memperlihatkan ketidakmampuan dalam
mengelola pendidikan. Birokrasi pendidikan yang cerdas akan memilih
mengembangkan sekolah swasta yang sudah ada dengan cara meningkatkan dukungan
pembiayaannya daripada mendirikan sekolah negeri baru yang memerlukan investasi
yang begitu besar. Persoalan akuntablitas yang di-cemaskan oleh pengambil
kebijakan bila mendukung sekolah-sekolah kecil tersebut, dapat diatasi dengan
menciptakan pola managemen baru setelah sekolah-sekolah swasta kecil itu
dibantu secara penuh. Kecuali si pendiri sekolah tersebut tidak terbuka untuk
bekerja sama dengan pemerintah , barulah altenatif mendirikan sekolah baru itu
dilakukan, tetapi hal itu mestinya merupakan solusi terakhir.
Dengan kata lain,
kemampuan perencanaan dan pengelolaan pendidikan yang dimaksudkan disini, bukan sekedar menyangkut
pendistribusian masalah anggaran pendidikan yang ada, tetapi juga menyangkut
keberadaan institusi-institusi pendidikan yang ada. Bahwa tanggung jawag
pemerintah tidak hanya sekolah-sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta.
Di daerah-daerah perdesaan atau terisolasi, kehadiran sekolah swasta harus jauh
dari kepentingan politik dan bisnis. Pendirian sekolah harus dimaksudkan untuk
membantu masyarakat yang kurang mampu untu mengakses pendidikan.
Kemampuan perencanaan yang
matang, termasuk dalam bentuk mening-katkan kapasitas sekolah-sekolah swasta
untuk memperbesar daya tampung, jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan
mendirikan sekolah baru yang memerlukan investasi tanah dan keperluan yang
serba baru. Memang, pilihan melakukan efisiensi tidak melahirkan proyek baru
bagi birokrasi, sehingga kurang menarik perhatian. Tapi, apabila dimaksudkan
untuk peningkatan mutu pendidikan ditengah anggaran yang masih terbatas,
prinsip efisiensi mesti dipertimbangkan. Dan Inefisiensi itulah menjadi
persoalan pendidikan nasional. Anggaran memang menjadi masalah besar, tetapi
bukan masalah utama.
Penulis : Ahmad Suryadi (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam 2016)