Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum

  • 11:37 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Landasan memilki beberapa arti walau berasal dari kata dasar yang sama, yaitu landas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, landasan ialah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Landasan dapat berarti alas atau bantalan, lapangan terbang, dan juga berarti dasar atau tumpuan.[1]

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philoshopia” . Philos, artinya cinta yang mendalam, dan shopia  ialah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat bermakna pencinta kebijaksanaan. Secara istilah filsafat adalah kajian masalah umum dan mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa. Istilah ini kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Pythagoras (c. 570-495 SM).[2]

Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan: “popularly philosophy means one’s genera view of life of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin erbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.[3]

Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Donald Butler berpendapat bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan–pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, bahkan menurut Butler menjadi satu.[4]

Filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok, yaitu: (1) cita-cita masyarakat, dan (2) kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat.[5]

Filsafat pendidikan sebagai salah satu spesialisasi dalam filsafat terutama memberikan pedoman kepada pendidik mengenai ciri-ciri atau kualitas individu yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Misalnya, apakah individu yang bersikap demokratis atau yang bersikap otoriter, atau sikap-sikap lain.[6]

Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Pendidikan dalam arti luas diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel (1977), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:[7]

1.    Autonomy.

2.    Equity

3.    Survival

Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival, artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antara manusia.

Hal yang diyakini seseorang atau masyarakat sebagai suatu kebenaran merupakan sesuatu yang penting untuk dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena di antara tujuan pendidikan yang penting adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran. Untuk menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik dengan efektif, maka setiap pendidik seharusnya berpegang dan mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan apa yang diajarkan. Oleh sebab itu, kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri, dan dalam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.

Sistem nilai itu sendiri merupakan pandangan seseorang tentang sesuatu yang berkenaan dengan arti kehidupan. Pandangan ini lahir dari kajian seseorang terhadap norma-norma agama dan soaial yang dianutnya. Perbedaan arah pandangan dapat menyebabkan timbulnya perbedaan arah pendidikan yang diberikan kepada anak didik.[8]

Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.[9]

1.    Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana peserta didik yang dididik.

2.    Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

3.    Filsafat dapat menetukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagi sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.

4.    Filsafat dapat menetukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.

Sistem nilai bangsa Amerika adalah liberalis-demokratis, dengan demikian tujuan pendidkan di Amerika adalah membentuk manusia yang liberalis-demokratis. Kemudian sistem nilai di Cina dan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, Iran dan lain sebagainya juga memiliki sistem nilai atau pandangan hidup masing-masing yang biasanya mencerminkan tujuan pendidikan negara tersebut.

Sistem nilai yang berlaku di Indonesia serta menjadi landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah falsafah negara Pancasila. Dengan demikian para lulusan sekolah-sekolah di Indonesia diharapkan menjadi manusia-manusia yang memiliki sifat-sifat dan sikap yang sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila. Seperti halnya nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kurikulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh pendidik di dalam kelas. Dalam melaksanakan kegiatan serta pengambilan berbagai keputusan pendidik haruslah mencerminkan nilai-nilai tersebut.

Hal tersebut tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Pedidikan Nasional yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab II pasal 2: Pedidikan Nasional Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, pada Bab II pasal 4 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia  seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatn dan kebangsaan.

Sesuai dengan filsafat Pancasila, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia mencakup unsur-unsur berikut:[10]

·      Manusia pembangunan yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

·      Manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan dan budi pekerti yang tinggi.

·      Manusia yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.

·      Manusia yang memiliki kepribadian yang kuat dan rasa tanggung jawab yang tinggi atas pembangunan bangsa.

Landasan Psikologi Pengembangan Kurikulum

Psikologi merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan tentang perilaku, fungsi mental, dan proses mental manusia secara ilmiah.[11] Psikologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ilmu yang berkaitan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, atau dapat disebut juga ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegitan jiwa. Sedangkan arti dari psikologis ialah berkenaan dengan psikologi atau bersifat kejiwaan.[12] Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu yang membahas hal-hal yang terkait dengan jiwa.

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Psikologi perkembangan mengkaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.[13]

Implikasi dari perkembangan peserta didik terhadap pengembangan kurikulum yaitu: setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya. Selain disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak. Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kurikulum memuat tujuan–tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.[14]

1.    Psikologi Belajar

Psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga rumpun, yaitu:

a)    Teori Daya (Disiplin Mental).

Menurut teori ini sejak kelahirannya (heredities) anak telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu (Faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Karena itu pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik dalam daya- daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan dan latihan.

b)   Teori Behavorisme

Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori Koneksionisme atau teori Asosiasi, teori Kondisioning, dan teori Reinforcement (Operent Conditioning), Rumpun teori Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) Teori Koneksionisme atau teori Asosiasi adalah kehidupan tunduk kepada hukum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.

c)     Teori Organismik atau Gestalt

Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.

Adapun aspek  psikologis peserta didik yang erat kaitannya dengan kurikulum adalah:

1.    Aspek intelek

2.    Aspek emosi

3.    Aspek sosial

4.    Aspek motivasi

5.    Aspek kematangan dan

6.    Teori belajar (bagaimana peserta didik belajar).

            Berikut adalah penjelasan singkat tentang aspek-aspek psikologis tersebut.[15]

a)    Aspek Intelek

            Pada umumnya  orang memaklumi bahwa fungsi utama sekolah adalah mengembangkan daya intelek anak. Bahwa ada anggapan yang melebih-lebihkan aspek intelek sehingga mengabaikan aspek-aspek lainnya misalnya aspek emosional dan sosial.Tentu saja sifat dan anggapan yang demikian kurang baik mengingat setiap anak harus mengalami pertumbuhan yang harmonis.

Adapun hal-hal yang menyangkut aspek intelek ini ialah adanya pengamatan (congnitive). Hal ini dapat diketahui dengan melihat bagaimana anak menyadari dan berkembang. Berkaitan erat dengan pengembangan konsep ini, ialah perhatian dan orientasinya mengenai ruang dan waktu.

Selain daya pengenalan dan daya lain yang berhubungan dengan aspek intelek ialah daya pemikiran (reasoning). Untuk itu perlu diketahui bagaimana anak memahami hubungan sebab dan akibat, bagaimana dia belajar berkomunikasi dengan orang-orang lain, bagaimana menyelesaikan problema-problema yang dihadapinya, bagaimana membuat penilaian dan bagaiamana perkembangan kebiasaan berfikir kritis.

b)   Aspek Emosional

            Emosi atau perasaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola-pola hidup seseorang dan sangat menentukan perkembangan kepribadian dan kesehatan mental. Oleh sebab itu penyusun kurikulum harus memperhatikan daya penyusaian dan kontrol emosi tersebut. Sehubungan dengan emosi ini yang  perlu mendapat perhatian ialah bahwa pertumbuhan fisik direfleksikan dalam perubahan emosi pada fase anak-anak dan remaja. Sekolah hendaknya  membantu orang tua membina pertumbuhan  emosi anak yang normal dengan mengajar dan melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam hal makan, olaharaga dan istrahat.

Selain hal tersebut, perlu difahami  bahwa perkembangan emosi juga berkaitan erat dengan perkembangan intelek, intelegensi, kemampuan belajar, kegiatan imajinasi dan gaya hidup seseorang (misalnya, daya kontrol diri, daya integrasi).

Akhirnya yang perlu pula diketahui mengenai masalah emosi ialah kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangannya, yang dapat dibagi atas 3 (tiga) kategori (Wheleer,1974: 19):

1)   Determinan-determinan intrapersonal yang timbul dari petkembangan fisik, intelek dan sosial yang menghasilkan pertumbuhan kesadaran moral, integrasi dan kontrol pribadi, hal mana banyak tergantung pada konsep mengenai diri sendiri (selfkonsept).

2)   Hubungan intrepersonal  dalam lingkungan keluarga,utamanya antara orang tua dengan anak, hubungan dengan guru-guru dan tokoh-tokoh lain di dalam lingkungan anak. Semua jenis hubungan tersebut mempunyai dua kemungkinan pengaruh yaitu dapat berpengaruh positif yaitu membantu pertumbuhan emosional, tetapi juga negatif yang merusak. Oleh sebab itu, haruslah menjadi bahan pertimbangan perencana kurikulum.

3)   Determinant Ekstrinsik yang sifatnya umum,tidak spesifik ;yang termasuk dalam hal ini ialah antara lain latihan,disiplin dan semua pendidikan dalm arti luas yang dapat menimbulakan reaksi emosional.

c)    Aspek Sosial

            Aspek sosial merupakan bagian integral dengan aspek-aspek lainnya yang tidak boleh diabaikan dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah sejauh mana anak sebagai individu berintegrasi dengan orang lain, dalam keadaan yang bagaimana ia dapat diterima oleh orang lain dan sejauh mana dia memberi sumbangan kepada orang lain dalam arti kepemimpinan yang bersifat sosial emosional. Begitu pula bagaimana pola-pola persahabatannya dan pengaruh proses sosial dalam dirinya terutama dalam hal persaingan dan kerja sama kemampuan-kemampuan tersebut harus dikembangkan melalui pengalaman belajar dan kegiatan beajar yang berkaitan dengan materi pelajaran tertentu. Selanjutnya hal perlu mendapat perhatian dalam usaha pengertian aspek sosial anak ialah kenyataan bahwa, tingkah  laku sosial pada umumnya terjadi dalam suatu  kelompok kecil. Oleh sebab itu studi tentang kelompok amat penting (dengan menggunakan pengetahuan tentang dinamika kelompok).

d)   Teori Belajar dan Prinsip Belajar

            Konsepsi tentang hakekat belajar sangat menantukan jenis kurikulum yang digunakan. Menurut konsepsi  lama, belajar diartikan kegiatan menambah dan  mengumpulkan sejumlah pengetahuan.sebagai konsekuensi dari pandangan yang demikian, jenis kurikulum yang digunakan ialah yang semata –mata mementingkan mata pelajaran. Kurikulum yang demikian dinamakan “Subject Centered Curriculum”. Kurikulum tersebut hanya mementingkan pengembangan intelek dan mengabaikan pengembangan aspek-aspek lainnya, misalnya aspek emosional dan sosial.

Pandangan tentang hakekat belajar ada bermacam-macam sesuai dengan teori yang dianut. Berikut ini hanya beberapa contoh:

1)   Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya

Teori ini bertolak dari pandanagan bahwa otak manusia terdiri dari beberapa bagian yang dinamakan “Faculties” atau daya-daya. Tiap Faculty atau daya mempunyai fungsi tersendiri misalnya, ada daya yang mempunyai fungsi tersendiri misalnya, ada daya khusus yang befikir, ada yang khusus untuk mengingat dan sebagainya. Sekolah sebagai tempat terselenggaranya proses belajar berkewajiban melatih daya-daya tersebut. Misalnya latihan untuk daya ingatan ialah dengan hafalan-hafalan. Latihan untuk daya berfikir ialah pembentukan daya-daya dan bukan penguasaan bahan-bahan pelajaran.

Teori ini mengakui adanya transfer yaitu daya pikir yang telah dipertajam dapat digunakan untuk sehari-hari seperti: politik, ekonomi, dan sosial.

2)   Teori Belajar Assosiasi

Teori Assosiasi berdasarkan pada pandangan bahwa mengajar tidak lain adalah memberi stimulus kepada anak didik yang dengan sendirinya akan menimbulkan response atau reaksi dari pihak anak. Semua proses belajar mengjajar terdiri atas 2 unsur   tersebut, yaitu stimulus yang diberi lambang “S” dan Response dengan lambang “R”. Maka teori Assosiasi tersebut sering juga dinamakan “Teori S. R. Bond”. Yang  dimaksud Stimulus “S” adalah rangsangan, misalnya: 5x4 (S) dan Response (R) adalah reaaksi terhadap rangsangan tertentu, misalnya 20. Atau dalam hidup sehari-hari: anak ditinggalkan oleh ibunya (S) dan menangis (R). Tugas guru menurut teori ini ialah memperkuat hubungan S dengan R dengan jalan mengulang-ulangnya.

Teori assosiasi ini mengakui adanya transfer mutlak, jadi ini merupakan salah satu perbedaan dengan teori Ilmu Jiwa Daya. Dengan demikian teori ini mementingkan penguasaan materi pangajaran, jadi megutamakan