Peranan Guru
dalam Pengembangan Kurikulum
Guru adalah
titik sentral suatu kurikulum. Berkat usaha guru maka timbul kegairahan belajar
siswa. Sehingga memacu belajar lebih keras untuk mencapai tujuan belajar
mengajar yang bersumber dari tujuan kurikulum. Untuk itu, guru perlu memiliki
keterampilan belajar mengajar.
Penguasaan
keterampilan tersebut bergantung pada bahan yang dimilikinya dan latihan dan
keguruan yang dialaminya. Keberhasilan belajar mengajar antara lain ditentukan
oleh kemampuan kepribadian dari guru. sehingga guru harus bersikap terbuka dan
menyentuh kepribadian siswa. Guru perlu mengembangkan gagasan secara kreatif,
memiliki hasrat dan dan keinginan serta wawasan intelektual yang luas. Guru
harus yakin terhadap potensi belajar yang dimilki oleh siswa.[1]
Kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi, dengan demikian kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan proses pembelajaran sebagai implementasi dokumen tersebut merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengada dan meniadakan ada kurikulum pasti ada pembelajaran; danada pembelajaran pasti ada kurikulum.Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan dan sebaliknya pembelajaran tanpa adanya kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Berikut beberapa peran guru dalam pengembangan kurikulum:
1.
Implementers
Sebagai implementer, guru
berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan
perannya guru menerima berbagai kebijakaan perumus kurikulum. Guru tidak
memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target
kurikulum. Pada fase sebagai implementator
kurikulum, peran guru dalam pengembangan kurikulum sebatas menjalankan
kurikulum yang telah disusun. Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya
reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru kita dalam penegmbangan kurikulum
hanya sebatas sebagaai implementator berbagai kebijakan kurikulum yang yang
dirancang secara terpusat, yankni Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).
Dalam GBPP yang berbentiuk matriks telah ditentukan dari mulai tujuan yang
harus dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus
dilakukan termasuk penggunaan media dan susmber belajar serta bentuk evaluasi
yang harus dilakukan serta sampai kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran
harus disampaikan. Dalam pengembnagan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga
tekni yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan
yang ada. Akibatnya kurikulum bersifat seragam, apa yang dilakukan oleh
guru-guru dibagian timur Indonesia, sama yang dilakukan oleh guru-guru yang
berada di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekedar pelaksana
kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa
pembelajaran sangatlah lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai
pembaru. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi
sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.
2.
Adapters
Peran guru sebagai adapters, lebih
dari hanya sebagai penyelaras kurikulum dengan karaketristik dan kebutuhan
siswa dan kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan untuk
menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan
keebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP), misalnya para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai
standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya,
dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian,
peran guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran guru
sebagai implementers.
3.
Developers
Peran sebagai pengembang kurikulum,
guru memiliki kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja
dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi
juga dapat menentukan strategi apa yang harus kembangkan serta bagaimana
mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi sekolah, serta
sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peran ini
dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (mulok) sebagai
bagian dari sturktur kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pengembangan
kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan.
Oleh sebab itu, biasa terjadi kurikulum mulok antar sekolah bisa berbeda.
Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah.
4.
Researchers
Sebagai fase terakhir adalah peran
guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum Researcher)peran ini
dilaksanakan sebagaibagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung
jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran
sebagai peneliti, guru memilki tanggung jawab untuk menguji sebagai komponen
kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program,
menguji strategi dan model pembelajaran, dan lain sebagainya, termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah
satu metode yang diajurkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
tindakan kelas (PTK) yakni metode penelitian yang berangkat dari masalah yang
dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif
melakukan penelitian sekaligus malaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan
guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan tetapi sacara terus menerus
guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.
Guru
Sebagai Pendidik Profesional
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik
(guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama
pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu
komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru
dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi,
tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan profesional. Oleh
karena itu, guru sebagaipelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Seorang
guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri agar
dapat menuju pendidikan yang berkualitas, efektif, dan efisien, serta mencapai
tujuan pembelajaran. Untuk memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina diri
secara baik, karena fungsi guru adalah membina dan mengembangkan kemampuan
peserta didik secara profesional dalam proses belajar mengajar.[2]
Untuk
mencapai tujuan tersebut, guru yang profesional harus memiliki empat
kompetensi, di antaranya yaitu:
1. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, serta pengevaluasian hasil belajar.[3]
2. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian yang bermental sehat dan stabil, dewasa, arif,
berwibawa, kreatif, sopan santun, disiplin, jujur, rapi,[4] serta
menjadi uswatun hasanah bagi peserta didik. Seperti yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa seorang guru harus ing ngarso
sungtulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri hadayani.
3. Kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara mendalam dan memiliki berbagai keahlian di bidang
pendidikan. Meliputi: penguasaan materi, memahami kurikulum dan
perkembangannya, pengelolaan kelas, penggunaan strategi, media, dan sumber
belajar, memiliki wawasan tentang inovasi pendidikan, memberikan bantuan dan
bimbingan kepada peserta didik, dan lain-lain.[5]
4. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi baik dengan peserta didik, orang tua peserta
didik dan masyarakat, sesama pendidik/teman sejawat dan dapat bekerja sama
dengan dewan pendidikan/ komite sekolah, mampu berperan aktif dalam
pelestarian dan pengembangan budaya masyarakat, serta ikut berperan dalam
kegiatan sosial.[6]
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja
dituntuk melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model
pendidikan profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP
Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1.
Memilki fungsi dan signifikansi social.
2.
Memilki
keahlian/keterampilan tertentu.
3.
Keahlian/keterampilan
diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4.
didasarkan
atas disiplin ilmu yang jelas.
5.
Diperoleh
dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
6.
Aplikasi
dan sosialisasi nilai-nilai professional.
7.
Memilki
kode etik.
8.
Kebebasan
untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup
kerjanya.
9.
Memilki
tanggung jawab professional dan otonomi.
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.[7]
Departemen
pendidikan dan kebudayaan telah merumuskan kemampuan kemampuan yang harus
dimiliki guru dan mengelompokkan nya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan profesional, yang mencakup
a.
Penguasaan
materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari
bahan pelajaran tersebut.
b.
Penguasaan
landasan dan wawasan kependidikan dan kejuruaan.
c.
Penguasaan
proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
2.
Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan
lingkungan sekitar.
3. Kemampuan personal yang mencakup:
a.
Penampilan
sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap
keseluruhan situasi pendidikan.
b.
Pemahaman,
penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya memiliki guru.
c.
Penampilan
upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
Lebih lanjut depdikbud merinci
ketiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar yaitu:
1. Penguasaan
bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2. Pengelolaan
program belajar-mengajar.
3. Pengelolaan
kelas.
4. Penggunaan media
dan sumber pembelajaran.
5. Penguasaan landasan-landasan
kependidikan.
6. Penolakan
interaksi belajar-mengajar.
7. Penilaian
prestasi siswa.
8. Pengenalan
fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.
9. Pengenalan
dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10. Pemahaman
prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan
peningkatan mutu pengajaran.
Sepuluh kemampuan dasar yang
dirumuskan depdikbud sebenernya baru merupakan rincian kelompok kemampuan
pertama (kemampuan profesional), sedangkan kelompok kemampuan yang kedua dan
ketiga penting. Di antara kemampuan sosial dan personal yang paling mendasar
yang harus dikuasai guru adalah idealisme, idealisme dalam pendidikan.
Perbuatan mendidik harus di
dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai pengabdian pada nusa, bangsa, dan
kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa, untuk melahirkan generasi pembangunan,
atau generasi penerus yang lebih handal, dan sebagainya. Kalau perbuatan
mendidik hanya didorong oleh kebutuhan memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya
akan bekerja adalah kadarnya, bekerja secara mekanistis dan formalitas.
Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap profesi, karyawan, bahkan setiap
orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik akan menumbuhkan rasa cinta pada guru
terhadap profesinya, terhadap pekerjaan pendidikan, terhadap para siswanya, dan
sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu guru akan berbuat yang terbaik bagi
peserta didik, bagi pendidikan. Idealisme dan rasa cinta mendasari dan menjawab
semua perilaku mendidik, menghidupkan kemampuan kemampuan profesional yang
dimiliki. Tanpa idealisme dan rasa cinta, kemampuan-kemampuan profesional yang
dimilikinya hanya akan tampak seperti lampu yang kekurangan minyak.
Meyakinkan setiap orang khususnya
pada setiap guru bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan profesional, yang
merupakan upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian standar
proses pendidikan sesuai dengan harapan. Mengapa demikian? Sebab banyak orang
termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa guru merupakan jabatan profesional.
Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Walaupun mereka
tidak memiliki ilmu keguruan bisa saja dianggap sebagai guru, asal paham materi
pelajaran, pendapat semacam ini ada benarnya. Konsep mengajar demikian tentunya
sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada
siswa, maka ia dapat menjadi guru. tetapi mengajar tidak sesederhana itu bukan?
Mengajar bukan saja hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi
sebuah proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Oleh sebab itu, dalam proses mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar
siswa berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya; melatih
keterampilan baik intelektual, maupun keterampilan motorik sehingga siswa dapat
memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh dengan
tantangan dan rintangan, membentuk siswa yang memiliki kemampuan inovatif dan
kreatif dan lain sebagaainya.
Oleh karena itu, seorang guru perlu
memilki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi
pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan
taraf perkembangan siswa termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan
media pembelajaaran untuk menjamin efektivitas pembelajaran. Dengan demikian,
seoraang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin
dimiliki oleh orang bukan guru. Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan
profesional, yang membutuhkan kemampuan khusus hasil proses pendidikan yang
dilaksanakan oleh lembaga pendidikan keguruan.[8]
Guru
Sebagai Pembimbing Belajar Siswa
Telah dijelaskan bahwa dalam
kurikulum dapat dibedakan antara official atau written curriculum
dengan actual curriculum. Official atau written curriculum
merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi pelaksanaan
pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum nyata yang
dilaksanakan oleh guru-guru. Kurikulum nyata merupakan implementasi dari official
curriculum di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan bahwa betapapun
bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung pada apa
yang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual).[9]
Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun
pelaksanaan kurikulum.
Pada keempat konsep pendidikan yang
telah di uraikan di muka terdapat perbedaan peranan atau kedudukan guru. Dalam
konsep pendidikan klasik, guru berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu,
sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan.
Dalam konsep interaksional guru berperan
sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi, guru lebih
berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing. Dalam praktik pendidikan
di sekolah, jarang sekali digunakan satu konsep pendidikan secara utuh. Pada
umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin mencapurkan dua, tiga
bahkan kempat-empatnya. Model-model konsep pendidikan tersebut dalam praktik
tidak lagi dipandang sebagai model pendidikan yang masing-masing eksklusif,
tetapi dapat dipadukan atau minimal dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang
tampak adalah variasi peranan guru dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Dalam keseluruhan
proses belajar-mengajar atau pada suatu
waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih menonjol dari yang
lainnya. Keemppat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat ditempatkan dalam
satu kontinum,
Para pelaksana pendidikan termasuk
guru sering tidak melihat keempat peranan tersebut terletak dalam kontinum.
Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai
penyampai ilmu dari pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung yang
lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan
sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya
sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama, sedangkan yang
memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model
baru.
Pandangan sederhana dan pola seperti
itu memang banyak ditemukan, bukan hanya dalam pendidikan dan pengajaran tetapi
juga dalam bidang-bidang lain. Sebenarnya semua konsep pendidikan itu baik atau
memiliki kebaikan-kebaikan tertentu, di samping kendala-kendala tetrtentu pula.
Dalam praktik yang lebih penting adalah mempertimbangkan, konsep pendidikan
mana yang paling tepat untuk mencapai tujuan tertentu bagi kelompok peserta
didik tertentu, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, dalam waktu dan
kondisi tertentu pula. Sejalan dengan konsep pendidikan tersebut peran-peran
apa yang dimainkan oleh guru. Pada saat dan situasi tertentu peran menyampaikan
materi pengetahuan memang tepat dan sangat di perlukan dan sarananya ada. Pada
saat dan situasi lain pengarahan dan dororngan terhadap siswa dalam
merencanakan, dan melaksanakan suatu kegiatan atau memecahkan suatu masalah
adalah tepat, karena kondisinya mendukung. Jadi, sesungguhnya realisasi dari
peranan guru tersebut sangat situasional, tidak ada yang berlaku umum.
Meskipun demikian ada suatu hal yang
menjadi acuan bagi guru, dalam memilih kegiatan yang akan dilakukan serta
peranan yang akan dimainkannya, yaitu siswa. Tujuan utama kegiatan guru dalam
mengajar adalah mempengaruhi pola perubahan tingkah laku para siswanya.
Perubahan ini terjadi karena guru memberikan perlakuan-perlakuan. Tepat
tidaknya, efektif tidaknya perlakuan yang diberikan guru akan menentukan usaha
belajar yang dilakukan oleh siswa. Upaya guru memberikan perlakuan tersebut
erat kaitannya dengan tingkat harapan dan perubahan yang diinginkannya. Tujuan
lainnya adalah mendorong dan meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar,
dengan cara itu, guru dapat memengaruhi perubahan tingkah laku siswa.
Untuk mencapai kedua tujuan diatas,
diperlukan hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Guru perlu menyenangi
siswanya, bersikap menerima, mengerti dan membantu. Sebaliknya siswa juga harus
menerima, menyenangi dan menghormati gurunya. Kesukaan dan sikap positif siswa
terhadap guru, akan meningkatkan hasil belajar mereka. Antara siwa dan guru
perlu terjalin kerja sama yang baik dalam belajar. Disamping itu, guru harus
memberikan kesempatan, dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk
mendorong siswa memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Guru tidak
mungkin menjawab semua pertanyaan siswa. Kesempatan belajar yang diciptakan
guru adalah agar merangsang siswa belajar, berfikir, melakukan penalaran, jadi
memungkinkan siswa belajar sendiri. Jadi, antara guru dan siswa harus tercipta
hubungan sebagai mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik antara guru
dan siswa akan memperkaya kurikulum dan
kegiatan belajar-mengajar pada kelas bersangkutan.
Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan orang tua siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi syarat mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. Hubungan antara guru dengan siswa harus didukung oleh hubungan yang sejalan antara guru dengan administrator dan guru dengan orang tua siswa. Hubungan guru dengan administrator haruslah bersikap terbuka, sehingga memungkinkan guru mencari jalan, berkreasi dan berani mencoba sendiri sesuatu usaha yang instruksional yang lebih baru yang dipandangnya lebih relevan dengan kegiatannya selaku guru. Antara keduanya juga tercipta hubungann sebagai mitra yang baik, tetapi dengan tugas yang berbeda Dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, ada 3 langkah yang harus di tempuh, yaitu:
1.
Mendiagnosis
kemampuan dan perkembangan siswa
Guru harus mengenal dan memahami
siswa dengan baik, memahami tahap perkembangan yang telah dicapainya,
kemampuan-kemampuannya, keunggulan dan kekurangannya, hambatan yang dihadapi
serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya. Setiap peserta didik sebagai
individu mempunyai kemampuan, kecepatan belajar, karakteristik dan
problem-problem sendiri, yang berbeda dengan individu lainnya. Perkembangan
yang optimal hanya mungkin dapat dicapai apabila kegiatan yang dilakukan siswa
dan bantuan yang diberikan guru, disesuaikan dengan kondisi tersebut.