Peran Guru Dalam Perkembangan Kurikulum

  • 05:42 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum

Guru adalah titik sentral suatu kurikulum. Berkat usaha guru maka timbul kegairahan belajar siswa. Sehingga memacu belajar lebih keras untuk mencapai tujuan belajar mengajar yang bersumber dari tujuan kurikulum. Untuk itu, guru perlu memiliki keterampilan belajar mengajar.

           Penguasaan keterampilan tersebut bergantung pada bahan yang dimilikinya dan latihan dan keguruan yang dialaminya. Keberhasilan belajar mengajar antara lain ditentukan oleh kemampuan kepribadian dari guru. sehingga guru harus bersikap terbuka dan menyentuh kepribadian siswa. Guru perlu mengembangkan gagasan secara kreatif, memiliki hasrat dan dan keinginan serta wawasan intelektual yang luas. Guru harus yakin terhadap potensi belajar yang dimilki oleh siswa.[1]

Kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi, dengan demikian kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan proses pembelajaran sebagai implementasi dokumen tersebut merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengada dan meniadakan ada kurikulum pasti ada pembelajaran; danada pembelajaran pasti ada kurikulum.Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan dan sebaliknya pembelajaran tanpa adanya kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Berikut beberapa peran guru dalam pengembangan kurikulum:

1.    Implementers

  Sebagai implementer, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru menerima berbagai kebijakaan perumus kurikulum. Guru tidak memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Pada fase sebagai implementator  kurikulum, peran guru dalam pengembangan kurikulum sebatas menjalankan kurikulum yang telah disusun. Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru kita dalam penegmbangan kurikulum hanya sebatas sebagaai implementator berbagai kebijakan kurikulum yang yang dirancang secara terpusat, yankni Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dalam GBPP yang berbentiuk matriks telah ditentukan dari mulai tujuan yang harus dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan termasuk penggunaan media dan susmber belajar serta bentuk evaluasi yang harus dilakukan serta sampai kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan. Dalam pengembnagan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga tekni yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Akibatnya kurikulum bersifat seragam, apa yang dilakukan oleh guru-guru dibagian timur Indonesia, sama yang dilakukan oleh guru-guru yang berada di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekedar pelaksana kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangatlah lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaru. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.

2.    Adapters

  Peran guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai penyelaras kurikulum dengan karaketristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan keebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), misalnya para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.

3.    Developers

  Peran sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus kembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peran ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (mulok) sebagai bagian dari sturktur kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh sebab itu, biasa terjadi kurikulum mulok antar sekolah bisa berbeda. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah.

4.    Researchers

   Sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum Researcher)peran ini dilaksanakan sebagaibagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran sebagai peneliti, guru memilki tanggung jawab untuk menguji sebagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, menguji strategi dan model pembelajaran, dan lain sebagainya, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang diajurkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas (PTK) yakni metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus malaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan tetapi sacara terus menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.

Guru Sebagai Pendidik Profesional

Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan profesional. Oleh karena itu, guru sebagaipelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.

Seorang guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri agar dapat menuju pendidikan yang berkualitas, efektif, dan efisien, serta mencapai tujuan pembelajaran. Untuk memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina diri secara baik, karena fungsi guru adalah membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional dalam proses belajar mengajar.[2]

Untuk mencapai tujuan tersebut, guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi, di antaranya yaitu:

1.      Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, serta pengevaluasian hasil belajar.[3]

2.      Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang bermental sehat dan stabil, dewasa, arif, berwibawa, kreatif, sopan santun, disiplin, jujur, rapi,[4] serta menjadi uswatun hasanah bagi peserta didik. Seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa seorang guru harus ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri hadayani.

3.      Kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan memiliki berbagai keahlian di bidang pendidikan. Meliputi: penguasaan materi, memahami kurikulum dan perkembangannya, pengelolaan kelas, penggunaan strategi, media, dan sumber belajar, memiliki wawasan tentang inovasi pendidikan, memberikan bantuan dan bimbingan kepada peserta didik, dan lain-lain.[5]

4.      Kompetensi sosial, yaitu kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi baik dengan peserta didik, orang tua peserta didik dan masyarakat, sesama pendidik/teman sejawat dan dapat bekerja sama dengan dewan pendidikan/ komite sekolah, mampu berperan aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya masyarakat, serta ikut berperan dalam kegiatan sosial.[6]

Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntuk melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:

1.      Memilki  fungsi dan signifikansi social.

2.      Memilki keahlian/keterampilan tertentu.

3.      Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

4.      didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.

5.      Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.

6.      Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai professional.

7.      Memilki kode etik.

8.      Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya.

9.      Memilki tanggung jawab professional dan otonomi.

10.  Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.[7]

Departemen pendidikan dan kebudayaan telah merumuskan kemampuan kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkan nya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:

1. Kemampuan profesional, yang mencakup

a.       Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut.

b.      Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan kejuruaan.

c.       Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.

2. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar.

3. Kemampuan personal yang mencakup:

a.       Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.

b.      Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya memiliki guru.

c.       Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.

            Lebih lanjut depdikbud merinci ketiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar yaitu:

1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.

2. Pengelolaan program belajar-mengajar.

3. Pengelolaan kelas.

4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran.

5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan.

6. Penolakan interaksi belajar-mengajar.

7. Penilaian prestasi siswa.

8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.

9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.

10. Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.

    Sepuluh kemampuan dasar yang dirumuskan depdikbud sebenernya baru merupakan rincian kelompok kemampuan pertama (kemampuan profesional), sedangkan kelompok kemampuan yang kedua dan ketiga penting. Di antara kemampuan sosial dan personal yang paling mendasar yang harus dikuasai guru adalah idealisme, idealisme dalam pendidikan.

     Perbuatan mendidik harus di dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai pengabdian pada nusa, bangsa, dan kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa, untuk melahirkan generasi pembangunan, atau generasi penerus yang lebih handal, dan sebagainya. Kalau perbuatan mendidik hanya didorong oleh kebutuhan memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya akan bekerja adalah kadarnya, bekerja secara mekanistis dan formalitas. Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap profesi, karyawan, bahkan setiap orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik akan menumbuhkan rasa cinta pada guru terhadap profesinya, terhadap pekerjaan pendidikan, terhadap para siswanya, dan sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didik, bagi pendidikan. Idealisme dan rasa cinta mendasari dan menjawab semua perilaku mendidik, menghidupkan kemampuan kemampuan profesional yang dimiliki. Tanpa idealisme dan rasa cinta, kemampuan-kemampuan profesional yang dimilikinya hanya akan tampak seperti lampu yang kekurangan minyak.

Meyakinkan setiap orang khususnya pada setiap guru bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan profesional, yang merupakan upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian standar proses pendidikan sesuai dengan harapan. Mengapa demikian? Sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Walaupun mereka tidak memiliki ilmu keguruan bisa saja dianggap sebagai guru, asal paham materi pelajaran, pendapat semacam ini ada benarnya. Konsep mengajar demikian tentunya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. tetapi mengajar tidak sesederhana itu bukan? Mengajar bukan saja hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi sebuah proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh sebab itu, dalam proses mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar siswa berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya; melatih keterampilan baik intelektual, maupun keterampilan motorik sehingga siswa dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh dengan tantangan dan rintangan, membentuk siswa yang memiliki kemampuan inovatif dan kreatif dan lain sebagaainya.

  Oleh karena itu, seorang guru perlu memilki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaaran untuk menjamin efektivitas pembelajaran. Dengan demikian, seoraang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang bukan guru. Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan profesional, yang membutuhkan kemampuan khusus hasil proses pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan keguruan.[8]

Guru Sebagai Pembimbing Belajar Siswa

Telah dijelaskan bahwa dalam kurikulum dapat dibedakan antara official atau written curriculum dengan actual curriculum. Official atau written curriculum merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi pelaksanaan pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh guru-guru. Kurikulum nyata merupakan implementasi dari official curriculum di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual).[9] Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum.

 Pada keempat konsep pendidikan yang telah di uraikan di muka terdapat perbedaan peranan atau kedudukan guru. Dalam konsep pendidikan klasik, guru berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu, sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan. Dalam  konsep interaksional guru berperan sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi, guru lebih berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing. Dalam praktik pendidikan di sekolah, jarang sekali digunakan satu konsep pendidikan secara utuh. Pada umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin mencapurkan dua, tiga bahkan kempat-empatnya. Model-model konsep pendidikan tersebut dalam praktik tidak lagi dipandang sebagai model pendidikan yang masing-masing eksklusif, tetapi dapat dipadukan atau minimal dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang tampak adalah variasi peranan guru dalam pelaksanaan  pendidikan dan pengajaran. Dalam keseluruhan proses belajar-mengajar atau pada suatu  waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih menonjol dari yang lainnya. Keemppat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat ditempatkan dalam satu kontinum,

            Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat peranan tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dari pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung yang lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama, sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model baru.

 Pandangan sederhana dan pola seperti itu memang banyak ditemukan, bukan hanya dalam pendidikan dan pengajaran tetapi juga dalam bidang-bidang lain. Sebenarnya semua konsep pendidikan itu baik atau memiliki kebaikan-kebaikan tertentu, di samping kendala-kendala tetrtentu pula. Dalam praktik yang lebih penting adalah mempertimbangkan, konsep pendidikan mana yang paling tepat untuk mencapai tujuan tertentu bagi kelompok peserta didik tertentu, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, dalam waktu dan kondisi tertentu pula. Sejalan dengan konsep pendidikan tersebut peran-peran apa yang dimainkan oleh guru. Pada saat dan situasi tertentu peran menyampaikan materi pengetahuan memang tepat dan sangat di perlukan dan sarananya ada. Pada saat dan situasi lain pengarahan dan dororngan terhadap siswa dalam merencanakan, dan melaksanakan suatu kegiatan atau memecahkan suatu masalah adalah tepat, karena kondisinya mendukung. Jadi, sesungguhnya realisasi dari peranan guru tersebut sangat situasional, tidak ada yang berlaku umum.

  Meskipun demikian ada suatu hal yang menjadi acuan bagi guru, dalam memilih kegiatan yang akan dilakukan serta peranan yang akan dimainkannya, yaitu siswa. Tujuan utama kegiatan guru dalam mengajar adalah mempengaruhi pola perubahan tingkah laku para siswanya. Perubahan ini terjadi karena guru memberikan perlakuan-perlakuan. Tepat tidaknya, efektif tidaknya perlakuan yang diberikan guru akan menentukan usaha belajar yang dilakukan oleh siswa. Upaya guru memberikan perlakuan tersebut erat kaitannya dengan tingkat harapan dan perubahan yang diinginkannya. Tujuan lainnya adalah mendorong dan meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar, dengan cara itu, guru dapat memengaruhi perubahan tingkah laku siswa.

   Untuk mencapai kedua tujuan diatas, diperlukan hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Guru perlu menyenangi siswanya, bersikap menerima, mengerti dan membantu. Sebaliknya siswa juga harus menerima, menyenangi dan menghormati gurunya. Kesukaan dan sikap positif siswa terhadap guru, akan meningkatkan hasil belajar mereka. Antara siwa dan guru perlu terjalin kerja sama yang baik dalam belajar. Disamping itu, guru harus memberikan kesempatan, dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong siswa memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Guru tidak mungkin menjawab semua pertanyaan siswa. Kesempatan belajar yang diciptakan guru adalah agar merangsang siswa belajar, berfikir, melakukan penalaran, jadi memungkinkan siswa belajar sendiri. Jadi, antara guru dan siswa harus tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik antara guru dan siswa akan  memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar pada kelas bersangkutan.

   Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan orang tua siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi syarat mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. Hubungan antara guru dengan siswa harus didukung oleh hubungan yang sejalan antara guru dengan administrator dan guru dengan orang tua siswa. Hubungan guru dengan administrator haruslah bersikap terbuka, sehingga memungkinkan guru mencari jalan, berkreasi dan berani mencoba sendiri sesuatu usaha yang instruksional yang lebih baru yang dipandangnya lebih relevan dengan kegiatannya selaku guru. Antara keduanya juga tercipta hubungann sebagai mitra yang baik, tetapi dengan tugas yang berbeda Dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, ada 3 langkah yang harus di tempuh, yaitu:

1.      Mendiagnosis kemampuan dan perkembangan  siswa

   Guru harus mengenal dan memahami siswa dengan baik, memahami tahap perkembangan yang telah dicapainya, kemampuan-kemampuannya, keunggulan dan kekurangannya, hambatan yang dihadapi serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya. Setiap peserta didik sebagai individu mempunyai kemampuan, kecepatan belajar, karakteristik dan problem-problem sendiri, yang berbeda dengan individu lainnya. Perkembangan yang optimal hanya mungkin dapat dicapai apabila kegiatan yang dilakukan siswa dan bantuan yang diberikan guru, disesuaikan dengan kondisi tersebut.