Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

  • 10:25 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Telah dimaklumi bahwa hukum fiqih adalah hasil galian ijtihad. Dan penggaliannya atau dalam hal ijtihad, tentang Nabi sendiri pun diselisihkan oleh para ulama, apakah Nabi ada berijtihad atau tidak, walau kita lihat dari kenyataannya Nabi sendiri ada berijtihad. Namun tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in, dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenerannya, dan bila salah seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat.

Kalau sahabat Nabi jelas ada berijtihad. Sebagai contoh, ketika Nabi mengutus Mua’az Bin Jabal ke Yaman sebagai hakim. Nabi bertanya: “bagaimana engkau memutuskan sesuatu bila tidak terdapat keterangan dalam al-Qur’an atau hadis,” Mu’az menjawab: “aku akan berijtihad.” Kemudian nabi menepuk bahu Mu’azsambil berkata: “Segala puji bagi Allah yang telang member taufik kepada utusan Rasulullah tentang sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah.”

Dari kejadian tersebut jelas menunjukkan, bahwa Nabi membenarkan dan memeng ada pada masa sahabat telah dilakukan ijtihad walaupu Nabi masih hidup. Oleh karena itu pula kita berkesimpulan bahwa ushul fiqih telah ada sejak adanya fiqih. Karena fiqih yang dilakukan dengan jalan ijtihad telah ada sejak zaman sahabat, maka tentulah ushul fiqih telah ada sejak zaman itu, sekalipun belum tersusun seperti yang ada sekarang ini. Tentu demikianlah pula pada abad kedua hijriyah tentang ketentuan ushul fiqih, dalam pejelasannya mereka dalam mengistinbatkan suatu hukum syar’i. [1]

Menurut sebahagian ulama, rasulullah bisa malakukan ijtihad berdasarkan pribadinya. Hanya saja, jika ijtihad beliau salah, Allah akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan yang benar. Misalnya, tindakan beliau terhadap tawanan perang badar. Abu bakar berpendapat  supaya tawanan itu di bebaskan dengan membaayar tebusan, sedangkan umar berpendapat supaya tawanan itu dibunuh saja karena mereka telah mendustakan dan mengusir nabi dari mekkah. Dari pendapat itu beliau memilih pendapat abu bakar membebaskan tawanan dengan memungut tebusan dari mereka. Namun  kemudian, turun ayat yang tidak membenarkan pilihan nabi tersebut, yakni ayat 67 surah al-Anfal:

$tB ?c%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3t? ÿ¼ã&s! 3?u?ó r& 4Ó®Lym ?ÆÏ?÷Wã? ?Îû ÇÚö?F{$# 4 ?crß??̍è? uÚttã $u?÷R??9$# ª!$#ur ß??̍ã? notÅzFy$# 3 ª!$#ur î??Í?tã ÒO?Å3ym ÇÏÐÈ

Tejemahnya:

Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[2]

      Sebaliknya, jika terhadap hasil ijtihad nabi itu tidak turun wahyu yang menyangga keabsahannya, berarti ijtihad tersebut benar dan termasuk kedalam pengertian al sunnah.

  Kegiatan ijtihad pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh nabi, tetap beliau juga memberi izin kepada para sahabatnya untuk melakukan hal yang sam terutama dalam menghadapi persolan-persoalan hukum yang ketetapan hukumnya tidak ditemui dalam alkitab dan al-sunnah sementara mereka jauh dari nabi.

 Hasil ijtihad sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum muslimin berikutnya, kecuali jika ada pengesahan dari rasulullah dan tidak diturunkannya wahyu yang kelihatannya tidak berdiri sendiri dalam arti tetap dalam pengawasan wahyu. Kalau ijtihad beliau salah Allah langsung menurunkan wahyu untuk menegur dan membetulkan, dan bila benar barulah Allah mendiamkannya.

Namun, dengan adanya kegiatan ijtihad pada masa itu para sahabat dan ulama-ulama sepeninggal nabi medapat aba-aba bolehnya melakukan ijtihad dalam menghadapi persoalan hukum yang ketentuannya tidak mereka temukan dalam nash.

Sepeniggal Rasulullah, seperti disebut pada uraian sebelumnya, banyak peesoalan baru yang muncul dan menuntut para ulam untuk menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menuggu pengesahan dari rasul. Oleh sebab itu, semenjak masa sahabat ijtihad mulai menjadi salah satu sumber hukum islam. Sebagai contoh, ijtihad umar bin khattab yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri karena kelaparan. Begitu juga ali bin abi thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meniggal dunia belum dicampuri serta belum menentukkan maharnya hanya berhak mendapat mut`ah. Ali menyamankan kedudukan wanita itu dengan wanita yang dicerai suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan mahrnya yang oleh syara` di tetapkan mut`ah seperti dinyatakan dalam surah al baqarah[2] : 236

 

?w yy$uZã_ ö/ä3ø?n=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 Zp?Ò?̍sù 4 £`èdqãèÏnFtBur ?n?tã ÆìÅ?qçRùQ$# ¼çnâ?y?s% ?n?tãur Î?ÏIø)ßJø9$# ¼çnâ?y