Telah dimaklumi bahwa hukum fiqih
adalah hasil galian ijtihad. Dan penggaliannya atau dalam hal ijtihad, tentang
Nabi sendiri pun diselisihkan oleh para ulama, apakah Nabi ada berijtihad atau
tidak, walau kita lihat dari kenyataannya Nabi sendiri ada berijtihad. Namun
tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in, dan lainnya, karena
ijtihad Nabi terjamin kebenerannya, dan bila salah seketika itu juga datang
wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat.
Kalau sahabat Nabi jelas ada
berijtihad. Sebagai contoh, ketika Nabi mengutus Mua’az Bin Jabal ke Yaman
sebagai hakim. Nabi bertanya: “bagaimana engkau memutuskan sesuatu bila tidak
terdapat keterangan dalam al-Qur’an atau hadis,” Mu’az menjawab: “aku akan
berijtihad.” Kemudian nabi menepuk bahu Mu’azsambil berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telang member taufik kepada utusan Rasulullah tentang sesuatu yang
diridhai oleh Rasulullah.”
Dari kejadian tersebut jelas
menunjukkan, bahwa Nabi membenarkan dan memeng ada pada masa sahabat telah
dilakukan ijtihad walaupu Nabi masih hidup. Oleh karena itu pula kita
berkesimpulan bahwa ushul fiqih telah ada sejak adanya fiqih. Karena fiqih yang
dilakukan dengan jalan ijtihad telah ada sejak zaman sahabat, maka tentulah
ushul fiqih telah ada sejak zaman itu, sekalipun belum tersusun seperti yang ada
sekarang ini. Tentu demikianlah pula pada abad kedua hijriyah tentang ketentuan
ushul fiqih, dalam pejelasannya mereka dalam mengistinbatkan suatu hukum
syar’i. [1]
Menurut sebahagian ulama, rasulullah bisa malakukan
ijtihad berdasarkan pribadinya. Hanya saja, jika ijtihad beliau salah, Allah
akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan yang benar. Misalnya, tindakan
beliau terhadap tawanan perang badar. Abu bakar berpendapat supaya tawanan itu di bebaskan dengan membaayar
tebusan, sedangkan umar berpendapat supaya tawanan itu dibunuh saja karena
mereka telah mendustakan dan mengusir nabi dari mekkah. Dari pendapat itu
beliau memilih pendapat abu bakar membebaskan tawanan dengan memungut tebusan
dari mereka. Namun kemudian, turun ayat
yang tidak membenarkan pilihan nabi tersebut, yakni ayat 67 surah al-Anfal:
$tB ?c%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3t? ÿ¼ã&s! 3?u?ó r& 4Ó®Lym ?ÆÏ?÷Wã? ?Îû ÇÚö?F{$# 4 ?crß??Ìè? uÚttã $u?÷R??9$# ª!$#ur ß??Ìã? notÅzFy$# 3 ª!$#ur î??Í?tã ÒO?Å3ym ÇÏÐÈ
Tejemahnya:
Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki
harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[2]
Sebaliknya, jika terhadap hasil ijtihad
nabi itu tidak turun wahyu yang menyangga keabsahannya, berarti ijtihad
tersebut benar dan termasuk kedalam pengertian al sunnah.
Kegiatan
ijtihad pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh nabi, tetap beliau juga
memberi izin kepada para sahabatnya untuk melakukan hal yang sam terutama dalam
menghadapi persolan-persoalan hukum yang ketetapan hukumnya tidak ditemui dalam
alkitab dan al-sunnah sementara mereka jauh dari nabi.
Hasil ijtihad
sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum
muslimin berikutnya, kecuali jika ada pengesahan dari rasulullah dan tidak
diturunkannya wahyu yang kelihatannya tidak berdiri sendiri dalam arti tetap
dalam pengawasan wahyu. Kalau ijtihad beliau salah Allah langsung menurunkan
wahyu untuk menegur dan membetulkan, dan bila benar barulah Allah
mendiamkannya.
Namun, dengan adanya kegiatan ijtihad pada masa itu
para sahabat dan ulama-ulama sepeninggal nabi medapat aba-aba bolehnya
melakukan ijtihad dalam menghadapi persoalan hukum yang ketentuannya tidak
mereka temukan dalam nash.
Sepeniggal Rasulullah, seperti disebut pada uraian
sebelumnya, banyak peesoalan baru yang muncul dan menuntut para ulam untuk
menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi
menuggu pengesahan dari rasul. Oleh sebab itu, semenjak masa sahabat ijtihad
mulai menjadi salah satu sumber hukum islam. Sebagai contoh, ijtihad umar bin
khattab yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri
karena kelaparan. Begitu juga ali bin abi thalib berpendapat bahwa wanita yang
suaminya meniggal dunia belum dicampuri serta belum menentukkan maharnya hanya
berhak mendapat mut`ah. Ali menyamankan kedudukan wanita itu dengan wanita yang
dicerai suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan mahrnya yang oleh
syara` di tetapkan mut`ah seperti dinyatakan dalam surah al baqarah[2] : 236
?w yy$uZã_ ö/ä3ø?n=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 Zp?Ò?Ìsù 4 £`èdqãèÏnFtBur ?n?tã ÆìÅ?qçRùQ$# ¼çnâ?y?s% ?n?tãur Î?ÏIø)ßJø9$# ¼çnâ?y