Pengertian
hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum
menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Secara
lughawy syariat berarti jalan ke tempat
pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti
tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai.
Kata
syariat terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surah Al-Maidah
ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya
mengandung arti jalan yang jelas membawa
pada kemenangan. dalam hal ini yang disebut syariat adalah agama Islam.
Adapun dari segi kesamaan antar syariat Islam dengan jalan air (seperti dalam
arti lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syariat jiwanya
akan mengalir dan bersih.
Hukum
syara’ merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah.
Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, baik dalam bentuk
tekstual maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga dikatakan berasal dari
Al-Qur’an dan Hadis.
Sebenarnya
kalau direnungkan lebih jauh, tida ada hukum Islam itu ditetapkan, sekalipun
oleh ulama besar yang ada yaitu dikeluarkan. Jadi, para ulama hanya
mengeluarkan hukum, karena hukum itu sendiri sebenarnya telah ada sebelum
manusia ada. Itulah sebabnya para mujtahid dinamakan penggali hukum, bukan
penetap hukum.
Dari
yang tersebut tampak pada kita beda hukum umum dengan hukum syariat. Kalau
hukum syariat telah ada sebelum manusia ada, sedangkan hukum umum adanya
setelah manusia ada, kemudian merundingkan hukum yang akan disepakati.
Semula
syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah
buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan
Allah maupun hubungan antara sesame mereka sendiri. Dengan pengertian semacam
ini, syariat diartikan agama sebagaimana disinggung dalam surat Al-Syura ayat
13. Namun kemudian, penggunaannya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah.
Pengkhususan ini dilakukan karena agam (samawy) pada prinsipnya adalah satu,
berlaku secara universal dan ajaran akidahnya pun tidak berbeda dari rasul yang
satu dengan yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkan syariat hanya berlaku untuk
masing-masing umat sebelumnya. Dengan demikian, syariat lebih khusus dari
pengertian agama. Ia adalah hukum amaliyah yang menurut perbedaan Rasul yang
membawanya dan setiap yang dating kemudian mengoreksi dan atau menasakhkan yang
dating lebih dulu.
Berkaitan
dengan uraian di atas dan dikaitkan pula dengan pembicaraan kita tenang metode
hukum Islam, maka dapat ditegaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan syariat
disini adalah segalaaturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang
harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau
aturan-aturan yang berasal dan atau dibangsakan kepada syariat disebut hukum
syar’i.
Ahli
ushul fiqh dan ahli fiqh berbeda pendangan dalam mengartikan hukum syar’i
tersebut. Pihak yang pertama, mendefinisikan hukum syar’I sebagai khitab
(titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung
tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau waha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang
ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefinisikan sebagai
efek yang dikendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram,
dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang
mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha
untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa nash dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itulah, menurut ahli ushul, yang dikataka hukum syar’i. Sedangkan menurut ahli fiqh bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.
Pembagian
Hukum Syar’i
1.
Hukum
Taklifi
Taklifi
artinya memberatkan, membebankan. Hukum taklifi yang dimaksud di sini adalah,
tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat atau untuk
tidak berbuat atau memilih salah satu diantara keduanya.
a. Ijab
yaitu khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau dilakukan. Dan hukumnya disebut wajib, yaitu apabila dilakukan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa. Contohnya seperti mengerjakan sholat lima waktu, mengeluarkan zakat, dan puasa.
b.
Tahrim
yaitu khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Hukumnya adalah haram,yaitu pekerjaan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Contohnya larangan tidak melakukan zina, tidak membunuh dengan tanpa hak
c.
Nadab
yaitu khitab yang berisi
tuntutan yang tidak mesti dituruti. Dan hukumnya sunah. Yaitu segala sesuatu
pekerjaan yang apabila dilakukan akan mendapat pahala, tetapi apabila
ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Contohnya seperti mengerjakan sholat
gerhana, sholat-sholat sunah lainnya.
d.
Karahah
Yaitu khitab yang berisi
larangan yang tidak mesti dijauhi. Dan hukumnya dinamakan makruh. Yaitu orang
yang meninggalkannya akan mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak
mendapat dosa. Contohnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang
tidak sedap.
e.
Ibahah
Yaitu khitab yang berisi
kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat.hukumnya dinamakan mubah.
Secara umum, mubah ini juga dinamakan jaizatau halal. Contohnya seperti main bola, duduk-duduk, dan
bersiul.
Hukum
Wad’i
Wad’i
artinya buatan atau bikinan. Hukum wad’I yang dimaksudkan disini yaitu adanya
sesuatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain, seperti
sebab, syarat, dan manic (halangan hukum).
a.
Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada atau tidak adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan adanya hukum. Sebagai contoh dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah. Dalam ayat tersebut terkandung dua hukum. Pertama, hukum taklifi, yakni dalam hal ini karena melanggar larangan mencuri. Kedua, trdapt juga hukum wad’I yakni karena ia mencuri sebagai sebab harus dipotong tangannya. Jadi, adanya pencuri memastikan adanya potong tangan.
b.
Syarat
Yang dimaksud dengan syarat disini
adalah bahwa tidak adanya sesuatu memastikan tidak adanya hukum. Tetapi tidak
sebaliknya, yakni adanya sesuatu harus adanya hukum. Sebagai contoh firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah: 110
Berdasarkan ayat diatas zakat
hukumnya wajib, namun jika tidak cukup haul maka tidak ada hukum wajibnya. Tapi
tidak pula cukupnya haul memastikan wajibnya zakat, karena masih bergantung
pada hal yang lain seperti nisab. Dalam hal ini haul disebut syarat, yakni
salah satu syarat wajibnya zakat.
c.
Mani’
Yang dimaksud denan mani’ adalah segala sesuatu yang dapat meniadakan hukum atau membatalkan hukum. Sebagai contoh, seseorang perempuan yang sedang haid atau nifas dilarang melakukan shalat. Jadi mani’nya di sini yaitu haid atau nifas, karena dengan adanya haid atau nifas itu maka tidak adanya kewajiban shalat atasnya.
d.
Rukhsah
dan Azimah
1.)
Rukhsah
, artinya mudah, ringan.
Yang
dimaksud disini adalah perubahan sesuatu dari yang berat pada yang ringan atau
yang lebih mudah, karena adanya satu sebab terhadap hukum ashal. Sebagai contoh
dalam firman Allah QS. An-Nissa’: 101
Ayat
diatas mengenai keringanan pada orang yang sedang dalam perjalanan untuk
mengqasar shalatnya.
Macam macam
rukhsah
2.)
Azimah,
artinya teguh, kuat, berat
Yang
dimaksud disini adalah apa-apa yang disyari’atkan pada mulanya, dan tidak
tergantung pada sesuatu uzur, atau halangan seperti shalat lima waktu sebelum
ada uzur, puasa Ramadhan sebelum ada uzur atau halangan, demikian pula
kewajiban lainnya dinamakan azimah.
3.)
Sah
Secara
harfiah, sah berarti lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Contohnya shalat dikatakan sah
karena dikerjakan sesuai yang diperintahkan syara’.
4.)
Batal
Sedangkan batal dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurka kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.Sebagian ulama mengangap sama antara fasad dan batal, karena batal dan fasad adalah lafaz muradif (sinonim). Adapun keduanya adalah berlawanan dengan sah.Abu Hanifah membedakan antara batal dan fasad. Batal menurut Abu Hanifah adalah apabila sesuatu yang terlarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal dari oerbuatan itu sendiri, seperti melakukan shalat tanpa ruku’ sedang ruku’ itu bagian dari shalat.