Pendidikan Masa Kini

  • 11:33 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Keluhan tentang masalah pendidikan nasional secara involutif berkutat pada masalah soal kecilnya anggaran pendidikan. Keluhan tentang kecilnya anggaran itu seakan meniadakan unsur-unsur lain yang cukup signifikan memberikan kontribusi besar terhadap buruknya sistem pendidikan nasional, seperti lemahnya kemampuan pengelolaan pendidikan nasional; lemahnya kemampuan manajerial keuangan, sehingga menimbulkan inefesiensi cukup besar; mentalitas korup di lembaga yang mengurusi pendidikan; kecenderungan kapitalisasi pendidikan; serta hegemoni partai politk atau penguasa yang mencapai tingkat paling bawah. Persoalan soal anggaran pendidikan boleh jadi hanya salah satu faktor saja, bukan satu-satunya masalah di bidang pendidikan.

            Wacana soal kecilnya anggaran pendidikan itu cukup mendominasi wacana pendidikan nasional, dan mampu menggeser perdebatan paragdimatik. Hal itu sengaja digulirkan oleh birokrasi yang orientasi berpikirnya project oriented. Bagi mereka, kecilnya anggaran pendidikan berarti berimplikasi pada sedikitnya proyek dan kecilnya uang yang dapat dikorupsi, sehingga proyek tetap besar dan uang yang dapat dikorupsi besar, maka isu tentang kecilnya anggaran pendidikan terus digulirkan terus menerus. Wacana tersebut kemudian diyakini sebagai kebenaran faktual oleh para pengamat atau akademisi pendidikan tanpa sikap kritis. Hampir semua orang setiap kali berbicara pendidikan, larinya pasti pada kecilnya anggaran sebagai biang keladi bobroknya sistem pendidikan nasional.

Mental Korup

            Bila kita mencoba membandingkan anggaran pendidikan di Indonesia dengan negara-negara lain dikawasan ASEAN, anggaran pendidikan Indonesia dapat dikatakan kecil, terutama dibandingkan dengan penduduknya yang mencapai 260 juta jiwa. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap tahunnya tidap pernah habis, dan selalu menyisakan ratusan milliar tiap tahunnya.

Kalau memang problemnya adalah kecilnya anggaran pendidikan, maka logikanya semua dana pendidikan yang tersedia dapat terserap. Penulis percaya bahwa anggaran yang tinggi itu penting, tetapi bukan yang terpenting untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Artinya, anggaran setinggi apapun tidak menjamin akan mampu memperbaiki sistem pendidikan nasional, bila para pengelolanya masih tetap ber-mental korup, kolusi dan project oriented, dan kurang mampu dalam hal manajerial. Atau bahkan menjadikan pendidikan menjadi lahan komersialisasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, ibarat menjadikan sekolah sebagai pasar.Dengan kata lain, tinggi rendahnya alokasi dana pendidikan tidak menjadi permasalahan, me-lainkan yang menjadi biang masalah adalah dana pendidikan dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk pelaksanaan pendidikan.

            Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) setiap tahun menunjukkan penggunaan anggaran di institusi pemerintah termasuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran pemerintah, sehingga terjadi kebocoran dan interfisiensi yang tinggi. Alokasi anggaran terbesar tentu saja berada dalan direktorat pembinaan SD dan SMP, tapi dalam direktorat ini pula sering terjadi korupsi dari soal pendirian gedung atau rehabilitasi gedung, penerbitan buku pelajaran, sampai penyaluran beasiswa. Mirisnya, orang begitu peduli terhadap segala bentuk penyelewengan maupun korupsi tersebut.

            Anggaran pendidikan nasional pertama kalinya mencapai kenaikan seginifikan di era presiden Abdurrahman Wahid, dengan persentase cukup tinggi  (22,5 %). Ini menjadi komitmen presiden Gus Dur pada bidang pendidikan, yang tidak hanya diucapkan, tetapi ada aksi nyata di lapangan. Banyak orang yang gembira akan hal tersebut, namun salah seorang anggota DPR mengatakan bahwa kenaikan anggaran itu hanya sebesar 6 % dari dana rekapitulasi Bank BNI. Artinya, kenaikannya memang signifikan tapi tidak otomatis mencerminkan bahwa pendidikan menjadi sektor utama dalam prioritas penerimaan anggaran.

Butuh Perencanaan Matang

            Besarnya peningkatan anggaran pendidikan justru menjadi bumerang dan tidak otomatis menjamin adanya peningkatan kualitas pendidikan nasional, bila tidak disertai dengan perencanaan yang matang, dan pengelolaan yang baik. Kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah mental korupsi yang ada dalam Kementerian Pendidikan, yang sering disebut kementerian paling korup setelah Kementerian Agama. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat kemampuan institusi untuk melakukan perencanaan yang matang dan pengelolaan dana yang baik belum teruji di lapangan. Agar pengalokasian anggaran itu bisa tepat sasaran, tanpa harus mengulangi kesalahan masa silam seperti pemborosan anggaran dan efisiensi penggunaan anggaran. Kementerian Pendidikan perlu mengembangkan suatu model perencanaan yang lebih partisipatif, melibatkan berbagai pihak yang terkait (multi stakeholder). Kekeliruan masa lalu, sepert perencanaan dilakukan secara sentralistik harus diubah dan melibatkan daerah dalam setiap perencanaan maupun kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan.

            Tuntutan adanya kemampuan merencanakan itu juga berkaitan dengan keluhan yang sering disampaikan oleh para pengelola sekolah-sekolah swasta. Pemerintah cenderung memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah negeri saja, termasuk sekolah negeri yang sudah maju. Bahkan ironisnya, sekolah-sekolah negeri yang sudah maju selalu kelebihan fasilitas, karena setiap ada bantuan yang datang, sekolah yang maju menjadi prioritas utama, sementara sekolah-sekolah swasta yang berada di daerah pinggiran atau perdesaan tidak pernah tersentuh sama sekali. Jangankan untuk mendapatkan bantuan, masuk hitungan untuk pengambilan kebijakan saja belum tentu. Para pengambil kebijakan di lingkungan Kementerian Pendidikan seharusnya memiliki wawasan yang luas mengenai keberadaan sekolah-sekolah negeri dan swasta. Diskriminasi anggaran harus dihapuskan, mengingat masyarakat kurang mampu bersekolah di sekolah swasta, terutama sekolah swasta yang kumuh yang berada di daerah pinggiran. Alokasi anggaran tidak hanya diberikan sekolah swasta yang kecil saja, melainkan seluruh sekolah swasta meskipun sekolah tersebut tergolong kaya, karena setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk mereka yang bersekolah swasta.

            Diskriminasi dalam perencanaan dan penganggaran justru dapat memperlebar disparitas mutu antara sekolah negeri dan swasta, atau antara negeri favorit atau negeri tidak favorit, antara swasta favorit dan swasta pinggiran. Kenaikan anggaran pendidikan hanya dirasakan golongan menegah keatas saja, sangat jarang menyentuh mereka yang tergolong kaum kecil yang sering membayar SPP pas-pasan bahkan sering terlambat. Kaum kecil yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemberian bantuan, justru tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang baik oleh negara.

            Kemampuan manajerial birokrasi pendidikan itu juga akan terlihat jelas melalui kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya. Mendirikan sekolah-sekolah negeri baru ditengah kondisi sekolah swasta yang kembang kempis, jelas memperlihatkan ketidakmampuan dalam mengelola pendidikan. Birokrasi pendidikan yang cerdas akan memilih mengembangkan sekolah swasta yang sudah ada dengan cara meningkatkan dukungan pembiayaannya daripada mendirikan sekolah negeri baru yang memerlukan investasi yang begitu besar. Persoalan akuntablitas yang di-cemaskan oleh pengambil kebijakan bila mendukung sekolah-sekolah kecil tersebut, dapat diatasi dengan menciptakan pola managemen baru setelah sekolah-sekolah swasta kecil itu dibantu secara penuh. Kecuali si pendiri sekolah tersebut tidak terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah , barulah altenatif mendirikan sekolah baru itu dilakukan, tetapi hal itu mestinya merupakan solusi terakhir.

            Dengan kata lain, kemampuan perencanaan dan pengelolaan pendidikan yang dimaksudkan  disini, bukan sekedar menyangkut pendistribusian masalah anggaran pendidikan yang ada, tetapi juga menyangkut keberadaan institusi-institusi pendidikan yang ada. Bahwa tanggung jawag pemerintah tidak hanya sekolah-sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta. Di daerah-daerah perdesaan atau terisolasi, kehadiran sekolah swasta harus jauh dari kepentingan politik dan bisnis. Pendirian sekolah harus dimaksudkan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu untu mengakses pendidikan.

            Kemampuan perencanaan yang matang, termasuk dalam bentuk mening-katkan kapasitas sekolah-sekolah swasta untuk memperbesar daya tampung, jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan mendirikan sekolah baru yang memerlukan investasi tanah dan keperluan yang serba baru. Memang, pilihan melakukan efisiensi tidak melahirkan proyek baru bagi birokrasi, sehingga kurang menarik perhatian. Tapi, apabila dimaksudkan untuk peningkatan mutu pendidikan ditengah anggaran yang masih terbatas, prinsip efisiensi mesti dipertimbangkan. Dan Inefisiensi itulah menjadi persoalan pendidikan nasional. Anggaran memang menjadi masalah besar, tetapi bukan masalah utama.

Penulis    : Ahmad Suryadi (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam 2016)