Landasan
memilki beberapa arti walau berasal dari kata dasar yang sama, yaitu landas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, landasan ialah sebuah homonim karena
arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Landasan dapat berarti alas atau bantalan, lapangan terbang, dan juga berarti
dasar atau tumpuan.[1]
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata
“philoshopia” . Philos, artinya cinta yang mendalam, dan shopia
ialah kearifan atau kebijaksanaan.
Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat bermakna
pencinta kebijaksanaan. Secara istilah filsafat adalah kajian masalah umum dan
mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal,
pikiran, dan bahasa. Istilah ini kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh
Pythagoras (c. 570-495 SM).[2]
Secara
popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau
pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan: “popularly
philosophy means one’s genera view of life of men, of ideals, and of values, in
the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas
setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki
pandangan hidup yang mungkin erbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya
baik.[3]
Filsafat
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk
masalah-masalah pendidikan yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat
sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari
pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan,
tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat
hubungan yang sangat erat. Donald Butler berpendapat bahwa filsafat memberikan
arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan–pertimbangan filosofis. Keduanya
sangat berkaitan erat, bahkan menurut Butler menjadi satu.[4]
Filsafat
pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan
menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Filsafat
pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip
pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik.
Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok, yaitu: (1) cita-cita
masyarakat, dan (2) kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat.[5]
Filsafat
pendidikan sebagai salah satu spesialisasi dalam filsafat terutama memberikan
pedoman kepada pendidik mengenai ciri-ciri atau kualitas individu yang ingin
dicapai melalui proses pendidikan. Misalnya, apakah individu yang bersikap
demokratis atau yang bersikap otoriter, atau sikap-sikap lain.[6]
Pendidikan
merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Pendidikan
dalam arti luas diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian
manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel
(1977), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan
tujuan pendidikan:[7]
1.
Autonomy.
2.
Equity
3.
Survival
Tujuan
pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama autonomy,
artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap
individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan
yang lebih baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberi
kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival, artinya pendidikan bukan saja
harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari
generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling
ketergantungan antara manusia.
Hal
yang diyakini seseorang atau masyarakat sebagai suatu kebenaran merupakan
sesuatu yang penting untuk dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena di
antara tujuan pendidikan yang penting adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran.
Untuk menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik dengan efektif, maka setiap
pendidik seharusnya berpegang dan mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan apa
yang diajarkan. Oleh sebab itu, kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk
mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan
dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri, dan dalam proses
pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.
Sistem
nilai itu sendiri merupakan pandangan seseorang tentang sesuatu yang berkenaan
dengan arti kehidupan. Pandangan ini lahir dari kajian seseorang terhadap
norma-norma agama dan soaial yang dianutnya. Perbedaan arah pandangan dapat
menyebabkan timbulnya perbedaan arah pendidikan yang diberikan kepada anak
didik.[8]
Sebagai
suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses
pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan
kurikulum.[9]
1.
Filsafat
dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan
hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana peserta
didik yang dididik.
2.
Filsafat
dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai.
3.
Filsafat
dapat menetukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagi sistem
nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.
4.
Filsafat
dapat menetukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Sistem
nilai bangsa Amerika adalah liberalis-demokratis, dengan demikian tujuan
pendidkan di Amerika adalah membentuk manusia yang liberalis-demokratis.
Kemudian sistem nilai di Cina dan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab
Saudi, Irak, Iran dan lain sebagainya juga memiliki sistem nilai atau pandangan
hidup masing-masing yang biasanya mencerminkan tujuan pendidikan negara
tersebut.
Sistem
nilai yang berlaku di Indonesia serta menjadi landasan filosofis pengembangan
kurikulum adalah falsafah negara Pancasila. Dengan demikian para lulusan
sekolah-sekolah di Indonesia diharapkan menjadi manusia-manusia yang memiliki
sifat-sifat dan sikap yang sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila. Seperti
halnya nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa,
seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi
kurikulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga
sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh pendidik di dalam
kelas. Dalam melaksanakan kegiatan serta pengambilan berbagai keputusan
pendidik haruslah mencerminkan nilai-nilai tersebut.
Hal
tersebut tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Pedidikan Nasional yakni
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab II pasal 2: Pedidikan Nasional
Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, pada Bab II
pasal 4 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatn dan kebangsaan.
Sesuai
dengan filsafat Pancasila, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia mencakup
unsur-unsur berikut:[10]
· Manusia pembangunan yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
· Manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan dan budi pekerti
yang tinggi.
· Manusia yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
· Manusia yang memiliki kepribadian yang kuat dan rasa tanggung jawab
yang tinggi atas pembangunan bangsa.
Landasan
Psikologi Pengembangan Kurikulum
Psikologi
merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan tentang perilaku,
fungsi mental, dan proses mental manusia secara ilmiah.[11]
Psikologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ilmu yang berkaitan dengan
proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, atau
dapat disebut juga ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegitan jiwa. Sedangkan
arti dari psikologis ialah berkenaan dengan psikologi atau bersifat kejiwaan.[12]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu yang membahas hal-hal yang
terkait dengan jiwa.
Nana
Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi
perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Psikologi
perkembangan mengkaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan,
aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal
lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi
belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks
belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori
belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari
pengembangan kurikulum.[13]
Implikasi
dari perkembangan peserta didik terhadap pengembangan kurikulum yaitu: setiap
anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan
kebutuhannya. Selain disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti)
yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan
yang sesuai dengan minat anak. Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang
bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak
yang berbakat di bidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke
jenjang pendidikan selanjutnya. Kurikulum memuat tujuan–tujuan yang mengandung
pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan
pribadi yang utuh lahir dan batin.[14]
1. Psikologi Belajar
Psikologi
atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
tiga rumpun, yaitu:
a)
Teori
Daya (Disiplin Mental).
Menurut
teori ini sejak kelahirannya (heredities) anak telah memiliki potensi-potensi
atau daya-daya tertentu (Faculties) yang masing-masing memiliki fungsi
tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan
pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Karena
itu pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik dalam
daya- daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan dan latihan.
b)
Teori
Behavorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori Koneksionisme
atau teori Asosiasi, teori Kondisioning, dan teori Reinforcement (Operent
Conditioning), Rumpun teori Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa
individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan
oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) Teori Koneksionisme atau teori
Asosiasi adalah kehidupan tunduk kepada hukum stimulus-respon atau aksi-reaksi.
Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan
upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk
membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
c)
Teori
Organismik atau Gestalt
Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih
bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari
bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan
hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini
dijalin oleh stimulus dan respon.
Adapun
aspek psikologis peserta didik yang erat
kaitannya dengan kurikulum adalah:
1.
Aspek intelek
2.
Aspek emosi
3.
Aspek sosial
4.
Aspek motivasi
5.
Aspek kematangan dan
6.
Teori belajar
(bagaimana peserta didik belajar).
Berikut adalah penjelasan singkat
tentang aspek-aspek psikologis tersebut.[15]
a)
Aspek
Intelek
Pada umumnya orang memaklumi bahwa fungsi utama sekolah
adalah mengembangkan daya intelek anak. Bahwa ada anggapan yang
melebih-lebihkan aspek intelek sehingga mengabaikan aspek-aspek lainnya
misalnya aspek emosional dan sosial.Tentu saja sifat dan anggapan yang demikian
kurang baik mengingat setiap anak harus mengalami pertumbuhan yang harmonis.
Adapun hal-hal
yang menyangkut aspek intelek ini ialah adanya pengamatan (congnitive). Hal
ini dapat diketahui dengan melihat bagaimana anak menyadari dan berkembang. Berkaitan
erat dengan pengembangan konsep ini, ialah perhatian dan orientasinya mengenai
ruang dan waktu.
Selain daya
pengenalan dan daya lain yang berhubungan dengan aspek intelek ialah daya
pemikiran (reasoning). Untuk itu perlu diketahui bagaimana anak memahami
hubungan sebab dan akibat, bagaimana dia belajar berkomunikasi dengan orang-orang
lain, bagaimana menyelesaikan problema-problema yang dihadapinya, bagaimana
membuat penilaian dan bagaiamana perkembangan kebiasaan berfikir kritis.
b)
Aspek
Emosional
Emosi atau perasaan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi pola-pola hidup seseorang dan sangat menentukan
perkembangan kepribadian dan kesehatan mental. Oleh sebab itu penyusun
kurikulum harus memperhatikan daya penyusaian dan kontrol emosi tersebut.
Sehubungan dengan emosi ini yang perlu
mendapat perhatian ialah bahwa pertumbuhan fisik direfleksikan dalam perubahan
emosi pada fase anak-anak dan remaja. Sekolah hendaknya membantu orang tua membina pertumbuhan emosi anak yang normal dengan mengajar dan
melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam hal makan, olaharaga dan istrahat.
Selain hal
tersebut, perlu difahami bahwa
perkembangan emosi juga berkaitan erat dengan perkembangan intelek, intelegensi,
kemampuan belajar, kegiatan imajinasi dan gaya hidup seseorang (misalnya, daya
kontrol diri, daya integrasi).
Akhirnya yang
perlu pula diketahui mengenai masalah emosi ialah kondisi-kondisi yang
mempengaruhi perkembangannya, yang dapat dibagi atas 3 (tiga) kategori
(Wheleer,1974: 19):
1)
Determinan-determinan
intrapersonal yang timbul dari petkembangan fisik, intelek dan sosial yang
menghasilkan pertumbuhan kesadaran moral, integrasi dan kontrol pribadi, hal
mana banyak tergantung pada konsep mengenai diri sendiri (selfkonsept).
2)
Hubungan
intrepersonal dalam lingkungan
keluarga,utamanya antara orang tua dengan anak, hubungan dengan guru-guru dan
tokoh-tokoh lain di dalam lingkungan anak. Semua jenis hubungan tersebut
mempunyai dua kemungkinan pengaruh yaitu dapat berpengaruh positif yaitu
membantu pertumbuhan emosional, tetapi juga negatif yang merusak. Oleh sebab
itu, haruslah menjadi bahan pertimbangan perencana kurikulum.
3)
Determinant
Ekstrinsik yang sifatnya umum,tidak spesifik ;yang termasuk dalam hal ini ialah
antara lain latihan,disiplin dan semua pendidikan dalm arti luas yang dapat
menimbulakan reaksi emosional.
c)
Aspek
Sosial
Aspek sosial
merupakan bagian integral dengan aspek-aspek lainnya yang tidak boleh diabaikan
dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam
hal ini ialah sejauh mana anak sebagai individu berintegrasi dengan orang lain,
dalam keadaan yang bagaimana ia dapat diterima oleh orang lain dan sejauh mana
dia memberi sumbangan kepada orang lain dalam arti kepemimpinan yang bersifat
sosial emosional. Begitu pula bagaimana pola-pola persahabatannya dan pengaruh
proses sosial dalam dirinya terutama dalam hal persaingan dan kerja sama
kemampuan-kemampuan tersebut harus dikembangkan melalui pengalaman belajar dan
kegiatan beajar yang berkaitan dengan materi pelajaran tertentu. Selanjutnya
hal perlu mendapat perhatian dalam usaha pengertian aspek sosial anak ialah
kenyataan bahwa, tingkah laku sosial
pada umumnya terjadi dalam suatu
kelompok kecil. Oleh sebab itu studi tentang kelompok amat penting
(dengan menggunakan pengetahuan tentang dinamika kelompok).
d)
Teori
Belajar dan Prinsip Belajar
Konsepsi tentang
hakekat belajar sangat menantukan jenis kurikulum yang digunakan. Menurut
konsepsi lama, belajar diartikan
kegiatan menambah dan mengumpulkan
sejumlah pengetahuan.sebagai konsekuensi dari pandangan yang demikian, jenis
kurikulum yang digunakan ialah yang semata –mata mementingkan mata pelajaran.
Kurikulum yang demikian dinamakan “Subject Centered Curriculum”.
Kurikulum tersebut hanya mementingkan pengembangan intelek dan mengabaikan
pengembangan aspek-aspek lainnya, misalnya aspek emosional dan sosial.
Pandangan tentang hakekat belajar ada bermacam-macam
sesuai dengan teori yang dianut. Berikut ini hanya beberapa contoh:
1)
Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya
Teori ini bertolak dari pandanagan bahwa otak
manusia terdiri dari beberapa bagian yang dinamakan “Faculties” atau daya-daya.
Tiap Faculty atau daya mempunyai fungsi tersendiri misalnya, ada daya yang
mempunyai fungsi tersendiri misalnya, ada daya khusus yang befikir, ada yang
khusus untuk mengingat dan sebagainya. Sekolah sebagai tempat terselenggaranya
proses belajar berkewajiban melatih daya-daya tersebut. Misalnya latihan untuk
daya ingatan ialah dengan hafalan-hafalan. Latihan untuk daya berfikir ialah
pembentukan daya-daya dan bukan penguasaan bahan-bahan pelajaran.
Teori ini mengakui adanya transfer yaitu daya
pikir yang telah dipertajam dapat digunakan untuk sehari-hari seperti: politik,
ekonomi, dan sosial.
2)
Teori Belajar Assosiasi
Teori Assosiasi berdasarkan pada pandangan
bahwa mengajar tidak lain adalah memberi stimulus kepada anak didik yang dengan
sendirinya akan menimbulkan response atau reaksi dari pihak anak. Semua proses
belajar mengjajar terdiri atas 2 unsur tersebut, yaitu stimulus yang diberi lambang
“S” dan Response dengan lambang “R”. Maka teori Assosiasi tersebut sering juga
dinamakan “Teori S. R. Bond”. Yang
dimaksud Stimulus “S” adalah rangsangan, misalnya: 5x4 (S) dan Response
(R) adalah reaaksi terhadap rangsangan tertentu, misalnya 20. Atau dalam hidup
sehari-hari: anak ditinggalkan oleh ibunya (S) dan menangis (R). Tugas guru
menurut teori ini ialah memperkuat hubungan S dengan R dengan jalan
mengulang-ulangnya.
Teori assosiasi ini mengakui adanya transfer mutlak, jadi ini merupakan salah satu perbedaan dengan teori Ilmu Jiwa Daya. Dengan demikian teori ini mementingkan penguasaan materi pangajaran, jadi megutamakan