A. Model-model Pengembangan Kurikulum di
Madrasah
Model adalah
abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam
bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya. Model
bukanlah realitas, akan tetapi merupakan representasi realitas yang
dikembangkan dari keadaan.[1] Oleh karena itu, model pada
dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan
sesuatu ke dalam realitas, yang sifatnya lebih praktis. Model berfungsi sebagai
sarana untuk mepermudah komunikasi, atau sebagai petunjuk yang bersifat
perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk
kegiatan pengelolaan.
Model yang baik
adalah model yang dapat menolong si pengguna untuk mengerti dan memahami suatu
proses secara mendasar dan menyeluruh.[2] Dalam pengembangan
kurikulum ada beberapa model yang dapat digunakan yaitu model pengembangan
kurikulum Tyler, Hilda Taba, Oliva, Beauchamp, Wheeler, Nisholls dan dynamic
Skilbeck.
1. Model Pengembangan Kurikulum Tyler
Model pengembangan
kurikulum Tyler sering juga disebut sebagai The Objective Model, dan
kadang-kadang dinamakan sequential, rational, scientific, classical or mean
model.[3] Model pengembangan
kurikulun Tyler lebih bersifat bagaimana merancang suatu kurikulum, sesuai
dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Dengan demikian, model ini
tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk langkah-langkah konkrit
atau tahapan-tahapan secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar
pengembangannya saja.
Ada empat hal yang
dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum. Pertama, berhubungan dengan
tujuan pendiddikian yang ingin dicapai; kedua, berhubungan dengan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan; ketiga, pengorganisasian pengalaman belajar, dam
keempat, berhubungan dengan evaluasi.[4]
a.
Menentukan Tujuan
Dalam penyusunan suatu kurikulum, merumuskan
tujuan merupakan langkah petama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan
merupakan arah atau sasaran pendidikan. Hendak dibawa ke mana anak didik?
Kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program
pendidikan? Semuanya bermuara kepada tujuan.
Merumuskan tujuan kurikulum, sebenarya sangat
tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum apa yang
dianut. Bagi pengembang kurikulum subjek akademis, maka penguasaan berbagai
konsep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu merupakan sumber
tujuan utama. Kurikulum yang demikian yang kemudian dinamakan sebagai kurikulum
yang bersifat “discipline oriented”. Berbeda dengan pengembang kurikulum
model humanistik yang lebih bersifat “child centered”, yaitu kurikulum
yang lebih berpusat kepada pengembangan pribadi siswa, maka yang menjadi sumber
utama dalam perumusan tujuan tentu saja siswa itu sendiri, baik yang
berhubungan dengan pengembangan minat dan bakat serta kebutuhan untuk membekali
hidupnya. Lain lagi dengan kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum yang lebih
bersifat “society centered” ini memosisikan kurikulum sekolah sebagai
alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, maka kebutuhan dan masalah-masalah
sosial kemasyarakatan merupakan sumber tujuan utama kurikulum.[5]
Walaupun secara teoritis, tampak begitu tajam
petentangan antara kurikulum yang bersumber dari disiplin akademik, kurikulum
yang bersumber dari kebutuhan pribadi dan masyarakat, akan tetapi dalam
praktiknya tidak setajam apa yang ada dalam teori. Anak adalah organisme yang
unik, yang memiliki berbgai perbedaan. Ia juga adalah makhluk sosial yang
berasal dan akan kembali pada masyarakat, oleh karena itu tujuan kurikulum apa
pun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus mempertimbangan berbagai sumber
untuk kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
b. Menentukan Pengalama Belajar
Langkah kedua dalam proses pengembangan kurikulum
adalah menentukan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam beriteraksi
dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan
bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Pengalaman belajar menunjuk
kepada aktvitas siswa di dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa pinsip dalam menentukan
pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran.
Kedua, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, setiap
rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Kempat, mungkin
dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.
Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar
yang dapat dikembangkan, misalnya pengalaman belajar untuk mengembangkan
kemampuan berpkir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam
mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu
mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan
minat.[6]
c. Mengorganisasi Pengalaman Belajar
Langkah yang ketiga dalam merancang suatu
kurikulum adalah mengorganisasikan pengalaman belajar baik dalam bentuk unit
mata pelajaran, maupun dalam bentuk program. Langkah pengorganisasian ini
sangatlah penting, sebab dengan pengorganisasian yang jelas akan memberikan
arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar
yang nyata bagi siswa.[7]
Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman
belajar. Pertama, pengorganisasian secara vertikal dan kedua secara horizontal.
Pengorganisasian secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam
satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Misalkan, pengorganisasian
pengalaman belajar yang menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan
geografi kelas enam. Sedangkan pengorgnisasian secara horizontal jika kita
menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang gaoegrafi dan sejarah dalam
tingkat yang sama. Kedua hubungan ini sangat penting dalam proses
pengorganisasikan pengalaman belajar. Misalkan, hubungan vertikal akan
memungkinkan siswa memiliki pengalaman belajar yag semakin luas dalam kajian
yang sama; sedangkan hubungan horizontal, antara pengalaman belajar yang satu
dan yang lain akan saling mengisi dan memberikan penguatan.[8]
Ada tiga prinsip dalam pengorganisasian pengalaman
belajar yaitu kontinuitas, urutan isi dan integrasi.[9]
d. Evaluasi
Proses evaluasi merupakan langkah yang sangat
penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Eveluasi memegang peranan yang cukup penting, sebab dengan evaluasi
dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh sekolah atau belum. Ada dua aspek yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan evaluasi. Pertama, evaluasi harus menilai apakah
telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang
telah dirumuskan. Kedua, evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat
penilaian dalam suatu waktu tertentu. Dengan demikian, penilaian suatu program
tidak mungkin hanya dapat mengandalkan hasil tes siswa setelah akhir proses
pembelajaran. Penilaian mestinya membandingkan antara penilaian awal sebelum
siswa melakukan suatu program dengan setelah siswa melakukan program tersebut.
Dari perbandingan itulah akan tampak ada atau tidak adnya perubahan tingkah
laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[10]
2. Model
Pengembangan Kurikulum Hilda Taba
Berbeda dengan
model yang dikembangkan Tyler, model Taba lebih menitikberatkan kepada bagaimana
mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses
perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu, dalam model ini dikembangkan
tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum.
Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan
secara deduktif yang dimulai yang dimulai dari langkah penentuan
prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desain kurikulum, menyusun
unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas.
Hilda Taba tidak sependapat dengan langkah
tersebut. Alasannya, pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat
menciptakan pembaruan kurikulum. Oleh karena itu, menurut Hilda Taba, sebaiknya
kurikulum dikembangkan secara terbalik yaitu dengan pendekatan induktif.[11]
Ada lima langkah
pengembangan kurikulum model terbalik dari Hilda Taba sebagai berikut.
a.
Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit)
melalui langkah-langkah:
1)
Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini,
pengembang kurikulum memulai dengan menetukan kebutuhan-kebutuhan siswa melalui
diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan (defeciencies), dan
perbedaan latar belakang siswa.
2)
Memformulasikan tujuan. Setelah
kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum
merumuskan tujuan.
3)
Memilih isi. pemilihan isi kurikulum sesuai
dengan tujuan merupakan langkah berikutnya. Pemilihan isi bukan saja didasarkan
kepada tujuan yang harus dicapai sesuai dengan langkah kedua, akan tetapi juga
harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermanknaannya untuk siswa.
4)
Mengorganisasi isi. melalui penyeleksian isi,
selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya, sehingga
tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.
5)
Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini
ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa mencapai
tujuan kurikulum.
6)
Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru
selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang
telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan. Sebaliknya dalam menentukan
paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta agar mereka memiliki tanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.
7)
Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang
harus dilakukan siswa. Pada penentuan alat evaluasi ini guru dapat menyeleksi
berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, apakah siswa
itu sudah dapat mencapai tujuan atau belum.
8)
Menguji keseimbangan isi kurikulum. Pengujian
ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar,
dan tipe-tioe belajar siswa.
b.
Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh
data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunanya.
c.
Merevisi dan mengonsolidasi unit-unit eksperimen berdasarkan data yang
diperoleh dalam uji coba.
d.
Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e.
Implementasi dan diseminasi kurikulum yang
telah teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui
penataran-penataran, lokakarya dan lain sebagainya serta mempersiapkan
fasilitas dan alat-alat sesuai dengan ketentuan kurukulum.[12]
3. Model Pengembangan Kurikulum Oliva
Menurut Oliva suatu
model kurikulum harus bersifat simpel, komprehensif dan sitematik. Model
pengembangan kurikulum Oliva terdiri dari 12 komponen yang harus dikembangkan.
Komponen pertama
adalah perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan yang
semuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan
masyarakat.
Komponen kedua
adalah analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan
siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah. Sumber
kurikulum dapat dilihat dari komponen I dan II ini. Komponen I berisi
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan sangat ideal; sedangkan komponen
II sudah mengarah kepada tujuan yang lebih khusus.
Komponen ketiga dan
keempat, berisi tentang tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan
kepada kebutuhan seperti yang tercantum dalam komponen I dan II. Sedangkan,
dalam komponen V adalah bagaimana mengorganisasikan rancangan dan
mengimplementasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum.
Komponen VI dan VII
mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan tujuan
khusus pembelajaran, (bagaimana menjabarkan atau perbedaan antara tujuan umum
dan tujuan khusus pembelajaran, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).
Apabila tujuan
pembelajaran telah dirumuskan, maka selanjutnya menetapkan strategi
pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada
komponen VIII. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang kemungkinan
strategi atau tenik penilaian yang akan digunakan (komponen IX A). Selanjutnya
pengembangan kurikulum diteruskan pada komponen X yaitu mengimplementasikan
strategi pembelajaran.
Setelah strategi
diimplementasikan, pengembangan kurikulum kembali pada komponen IX yaitu
komponen XI B untuk menyempurnakan alat atau teknik penilaian seperti yang
telah ditetapkan pada komponen IX A bisa ditambah atau direvisi setelah
mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi kurikulum.
Dari penetapan alat
dan teknik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen XI dan XII dilakukan
evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.
Menuerut Oliva,
model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi. Pertama,
untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus, misalkan
penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran
perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Kedua, model ini
juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program
kurikulum. Ketiga, model ini dapat digunakan dalam mengembangkan program
pembelajaran secara khusus.[13]
4. Model
Beauchamp
Model ini dinamakan
sistem Beauchamp, kerena memang diciptakan oleh Beauchamp seorang ahli
kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima langkah dalam proses pengembangan
kurikulum.
a.
Menetapkan wilayah atau arena yang akan
melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu bisa terjadi pada hanya satu
sekolah, satu kecamatan, kabupaten, atau mungkin tingkat provinsi dan tingkat
nasional.
b.
Menetapkan orang-orang yang akan terlibat
dalam proses pengembangan kurikulum. Beauchamp, menyarankan untuk melibatkan
seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Orang-orang yang harus dilibatkan itu
terdiri dari para ahli/spesialis kurikulum, para ahli pendidikan termasuk di
dalamnya para ahli yang dianggap berpengalaman, para profesional lain dalam
bidang pendidikan (seperti pustakawan, laporan, konsultan pendidikan dan lain
sebagainya), dan para ahli profesional dalam bidang lain beserta para tokoh
masyarakat (para politikus, industriawan, pengusaha, dan lain sebagainya).
c.
Menetapkan prosedur yang akan ditempuh, yaitu
dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar
serta menetapkan evaluasi. Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi
dalam lima langkah:
1)
Membentuk tim pengembang kurikulum.
2)
Melakukan penilaian terhadap kurikulum yang
sedang berjalan.
3)
Melakukan studi atau penjajakan tentang
penentuan kurikulum baru.
4)
Merumuskan kriteria dan alternatif pengembang
kurikulum.
5)
Menyusun dan menulis kurikulum yang
dikehendaki.
d.
Implementasi kurikulum. Pada tahap ini perlu
dipersiapkan secara matang berbagai hal yang dapat berpengaruh baik langsung
maupun tidak langsung terhadap efektivitas penggunaan kurikulum, seperti
pengalaman guru tentang kurikulum itu, sarana atau fasilitas yang tersedia,
manajemen sekolah, dan lain sebagainya.
e.
Melaksanakan evaluasi kurikulum yang
menyangkut:
1)
Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh
guru-guru di sekolah.
2)
Evaluasi terhadap desain kurikulum.
3)
Evaluasi keberhasilan anak didik.
4)
Evaluasi sistem kurikulum.[14]
5. Model Wheeler
Wheeler berpendapat
pengembangan kurikulum terdiri dari lima tahap, sebagai berikut.
a. Menentukan tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang besifat normatif
yang mengandung tujuan filosofis, atau tujuan pembelajaran umum yang besifat
praktis. Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang besifat spesifik dan
objektif yakni tujuan yang mudah diukur ketercapaiannya.
b.